Minggu, 14 Juli 2013
Fairy Tale Chapter 22 Misunderstanding
Alden POV
" Baru pulang." Sapaku pada Daniel yang baru saja melangkahkan kaki memasuki kamarnya. Aku memang sengaja menunggunya di kamar untuk "menceramahinya".
" Apa yang kau lakukan disini Al?" Tanya Daniel tak semangat. Wajahnya benar-benar keruh. Terlihat kusut dan lelah. Kalian pernah lihat pakaian yang baru di remas remas dan belum di setrika lalu tiba tiba di bentangkan? Ya, seperti itulah tampang Daniel saat ini.
Daniel melemparkan tas sekolahnya ke atas ranjang dengan asal, lalu melepaskan kedua sepatunya dan juga melemparkannya ke pojok kamarnya. Dan, uh, oh,, apa dia bermaksud berganti pakaian di depanku?
" Kenapa kau membuka bajumu di depanku?" Bentakku pada Daniel yang baru saja melepas kemeja putihnya. Meskipun sesama lelaki, aku tidak suka ada orang yang seenaknya telanjang di depanku.
" Berbalik." Perintahnya dingin.
Tanpa disuruhpun aku sudah memunggunginya. Tidak mau mengotori mataku dengan "pemandangan" seperti itu.
" Ada apa kemari?" Tanya Daniel tanpa ekspresi begitu dia selesai berganti pakaian. Dia membaringkan tubuhnya di ranjang. Terlihat lelah.
Aku menyandarkan punggungku di dinding kamarnya dan menyilangkan kedua tanganku di dada. "Kalau kau seberantakan ini tanpanya, kenapa kau membuatnya menangis?" Tanyaku.
" Apa maksudmu?" Tanyanya menatap lurus ke arahku.
" Tidak usah berlagak bodoh! Tadi pagi aku menemukan Kiara menangis sendirian. Dan KAU! yang membuatnya menangis." Kataku balas menatap matanya.
Setelah beberapa saat terdiam, dia hanya membuang muka tanpa mengatakan apapun.
" Aku tak tahu pasti apa yang terjadi tapi aku yakin itu hanya salah paham. Jadi berhentilah bersikap seperti anak kecil Daniel. Kasihan Kiara." Kataku berusaha membujuknya. Daniel bisa menjadi sangat keras kepala kalau dia mau.
" Bukan urusanmu." Katanya tanpa memandangku.
Aku maju menuju ke arah Daniel, berhenti tepat di depannya dan menjewer telinga kirinya yang lebih dekat padaku.
" Ouchhh. Hentikan Al! Apa yang kau lakukan." Bentak Daniel berang.
" Hukuman untukmu karena membuat adikku menangis." Jawabku enteng.
" Sejak kapan Kiara punya kakak seorang IBLIS huh?" Daniel masih meringis memegangi telinga yang memerah karena ulahku.
" Terserah kau saja. Oh iya, sekarang Kiara ada di duniaku. Aku ada banyak pekerjaan sampai tengah malam. Jadi kau harus menjemputnya nanti kalau tidak ingin Kiara menginap di tempatku."
" Apa peduliku." Kata Daniel berusaha acuh meski ku lihat kekagetan di wajahnya.
" kalau kau tidak menjemputnya aku akan memintanya menginap. Tapi aku tak bisa menjaganya karena aku sangat sibuk hari ini. Dan aku yakin kau tahu persis bagaimana playboy nya adiku Elden." Kataku berusaha memanas-manasi Daniel.
Daniel hanya diam tak merespon kata-kataku. Tapi aku yakin dia nanti akan datang menjemput Kiara. Yahh, usahaku untuk mendekatkan merela berdua berhasil. Aku tidak tahan melihat kiara bersedih seperti tadi.
- - - - - - - -
Kiara POV
" Kamu sudah bisa sihir Kiara?" Tanya Filia dengan mata melebar.
Aku memandangi kedua tanganku dengan takjub. Aku tadi memang berharap aku bisa sihir dan tanpa sadar mengatakan salah satu kata dalam bahasa latin yang ku pelajari dari buku yang di berikan ratu Esme. Aku tidak menyangka kalau akan bereaksi.
" Aku juga tidak tahu." Kataku tanpa mengalihkan pandanganku dari kedua tanganku.
" Auhh,," Terdengar keluhan Elden yang mencoba bangun dari posisi jatuhnya tadi. Dia masih mengusap-usap kepalanya yang terbentur tanah. "Dan kenapa kau harus mencoba kemampuanmu padaku Kiara?" Tanya Elden sebal.
Mendengar itu aku menjadi mengingat kejadian tadi. Aku langsung mengusap bibirku dengan sebal berusaha menghilangkan bekas bibirnya padaku. Menyebalkan.
" Ceciderit." Ucapku mengulangi mantra tadi.
Elden kembali terjatuh tapi dia sempat mengucapkan mantra. " Pulvino." dan sebuah bantal empuk mencegah kepalanya kembali membentur tanah.
" Hal yang sama tak kan terulang dua kali Kiara. Itu hukum mutlak dalam sebuah pertempuran. Ingat itu baik-baik." Kata El dengan nada menggurui yang sangat menyebalkan.
" Cultrum." Aku menyebut kata dalam bahasa latin dan seketika sebilah pisau yang berkilat sempurna berada dalam genggaman tanganku.
" A.. Apa yang kau lakukan Kiara? Aku hanya menciummu tapi kau ingin membunuhku? Kau tahu? banyak perempuan yang rela mati demi mendapat ciuman dariku." Kata El sedikit tergagap.
" Persetan dengan perempuan2 bodohmu itu! Aku tidak rela kau mencuri ciuman pertamaku!!!!" Bentakku padanya. Entah seperti apa tampangku sekarang. Aku benar benar di kuasai amarah.
" Kiara." Kata Elden yang kembali tenang. " Aku tidak tahu kalau kau belum pernah berciuman sebelumnya jadi maafkan aku. dan lagi benda seperti itu tak kan bisa membunuh iblis sepertiku. Paling hanya luka kecil yang akan segera sembuh dengan sihirku. Jadi jangan buang2 tenagamu."
Aku maju perlahan mendekati Elden. "Aku tidak sekejam itu sampai ingin membunuhmu El. Aku hanya ingin sedikit 'bereksperimen' dengan wajahmu." Kataku sambil menyeringai kejam.
Dan kulihat Elden mundur selangkah menjauhiku. " Apa yang akan kau lakukan Kiara."
Aku tak mengacuhkannya. " Filia bisakah kau buat pisau ini agar nanti meninggalkan bekas luka permanen di tempat aku menggoresnya?" Pintaku pada Filia sambil terus maju mendekati Elden.
" Kau mau apa Kiara!" Elden masih mundur menghindariku.
" Bagaimana kalau aku sedikit 'menggambar' di wajahmu El. Kurasa itu setimpal dengan perbuatanmu."
Elden terpojok, punggungnya sudah menempel pada pohon dan aku tepat berada di depannya.
" Hentikan Kiara, kau boleh melakukan apa saja tapi tolong jangan wajahku. Ini asetku yang berharga."
Lalu...
Aku menjatuhkan pisauku begitu saja dan...
Bukkk
aku meninju wajahnya sekuat tenaga.
" Sakit?" Tanyaku mengejeknya yang mengaduh kesakitan memegangi pipinya.
" Anggap saja itu teguran untuk playboy kurang ajar sepertimu!" Kataku sambil melenggang pergi kembali ke istana.
- - - - - - - - - -
Author POV
Ini sudah hampir tengah hari, tapi entah bagaimana kastil itu selalu di selimuti kegelapan yang membekukan. Sepasang muda mudi berjalan mantap memasuki kastil itu dengan bergandengan tangan. Tak terlihat sedikitpun ketakutan di wajah mereka memasuki daerah gelap yang meremangkan tengkuk semua orang.
" My lord, Pangeran Caith dan Veon siang ini akan meninjau perkebunan bunga untuk acara pengangkatan ratu tiga dunia. Mungkin ini adalah waktu yang tepat untuk Carra mendekati pangeran caith." Kata pemuda tegap bernama Dean kepada ratunya.
" Kau benar Dean. Carra kemarilah, aku akan mengubah warna sayapmu." Quenn Lamia berkata tanpa ekspresi. Gaun merah darahnya tersibak anggun begitu dia berdiri.
Peri cantik bernama Carra maju beberapa langkah mendekati ratunya. Lalu sang ratu menggumamkan mantra pelan sambil mengarahkan tongkat sihirnya pada Carra. Ya, selain iblis, makhluk lain juga bisa menggunakan sihir. Jika mereka sudah menyerahkan jiwanya pada iblis dengan kemampuan tinggi. Tapi harus dengan bantuan tongkat sihir.
Dan seketika sayap kuning Carra berubah warna menjadi sayap emas dengan detail garis-garis merah sama persis dengan milik Caith.
" Pergilah laksanakan tugas kalian."
.......
" Wahh sangat cantik, aku selalu ingin punya sayap secerah ini." Carra berputar kegirangan dengan warna baru sayapnya.
" Hentikan kegembiraanmu itu Carra, kau melukai hatiku." Kata Dean dengan cemberut.
" Maaf sayang, tapi sayap ini benar-benar cantik. Terlihat elegan dan berkelas." Kata Carra dengan wajah senangnya. Pipinya merona dengan manis.
" Itu bukan baju tapi sayap Carra. Itu sudah ada bahkan sejak kita lahir. Mana bisa kau menilai sayap dengan cara seperti itu?" Dean mendengus sebal.
" Sudahlah ayo kita berangkat. Jangan sampai kita gagal sayang." Carra menarik tangan Dean agar terbang lebih cepat.
" Kau langsung ke taman bunga saja Carra. Aku harus ke istana dulu. Pangeran Veon memintaku menemaninya. Hah, aku berbakat kan? sebentar saja aku sudah menjadi orang kepercayaan pangeran Veon." Kata Dean.
" Dasar..." Carra tersenyum lebar. " Ya sudah, aku langsung ke taman ya sayang." Dan mereka terbang berlawanan arah.
- - - - - - - - - - - -
Kiara POV
" Alden kau dimana?" Aku berteriak di depan kamar Alden. Persetan dengan sopan santun. Aku sedang benar-benar marah. Aku ingin secepatnya menjauh dari Iblis narsis menyebalkan itu.
Istana terlihat lengang. Hanya beberapa pelayan yang sesekali berlalu lalang. Aku bahkan belum melihat raja dan ratu sejak aku tiba disini.
Aku mengetuk kamar Alden cukup keras. " Alden keluarlah, aku mau pulang." Kataku sambil masih mengetuk pintu kamarnya.
" Percuma kau mengetuk sampai tanganmu berdarah. Al tidak ada di rumah." Kata seseorang di belakangku yang aku yakin sekali dia adalah Elden! Karena hanya dia yang selalu menebar aura memikat dengan sengaja untuk membuat semua orang terpesona. uh? sejak kapan aku bisa merasakan aura?
" Aku tidak bertanya padamu." Jawabku ketus tanpa membalikkan tubuhku.
" Kiara... Aku kan sudah minta maaf, kenapa kau masih marah?" Tanya Elden sedikit frustasi. Ya aku tahu dia tak bermaksud kurang ajar padaku, aku bisa merasakannya. Tapi tetap saja itu ciuman pertamaku!!! Aku tidak rela.
" Apa maafmu akan membuat kejadian tadi hilang? Tetap saja kau sudah mencuri ciuman pertamaku El!" Bentakku keras.
" Kau apa El?" Tanya Alden yang tiba-tiba saja muncul di sebelahku.
" kak, ini tidak seperti yang kau pikirkan." Kata El. " Tadi itu hanya ciuman terima kasih."
" Baru sebentar aku meninggalkan Kiara dan kau berani menciumnya?" Tany Al dengan nada yang sangat mengintimidasi. Baru kali ini aku merasakan aura berkuasa yang menguar dengan sangat kuat dari Alden.
" Aku sudah bilang ini tidak seperti itu kak, tadi aku terbawa suasana. Aku hanya berterima kasih padanya." Elden semakin tak nyaman dengan keadaan.
" Aku sudah berkali-kali memperinatkanmu Elden." Kata Al tajam. Aku hanya diam mematung memilih menjadi penonton. Elden memang butuh pelajaran etika.
" Baiklah kalau ini yang kakak ingin dengar. Aku memang tak sekedar berterima kasih pada Kiara, tadi memang aku terpesona dengannya yang entah bagaimana terlihat sangat berkilau di mataku jadi aku tidak tahan untuk tidak menciumnya. Itu kan yang ingin kakak dengar?" Kata Elden dengan nada sinis. Apa???? Dia apa? Tidak tahan untuk tidak menciumku? Dia pikir aku ini apa????!!!!
" Kiara, masuklah ke kamarku, kau tak seharusnya mendengar ini. Aku perlu bicara dengan Elden." Alden memandangku dengan tatapan yang tak pernah dia pakai sebelumnya. Setengah menyuruh setengah melindungi.
" Jangan bersikap seperti itu pada perempuan kalau kau tidak ingin membuatnya jatuh cinta padamu kak. Perempuan sangat menyukai lelaki misterius dan agak pemaksa seperti itu. Kau melarangku mendekati Kiara tapi kau sendiri tak bisa menjaga sikapmu padanya." Cerocos El. Apalagi ini? Jadi Elden berusaha mendekatiku? Aku hanya mematung di tempatku. Al dan El di penuhi dengan amarah.
" Hentikan omong kosongmu Elden!" Perintah Alden dengan rahang mengeras. Dia mulai terlihat menakutkan.
" Kenapa? Aku yakin kau juga bisa merasakan pesona Kiara yang luar biasa memikat. Bedanya... aku membebaskan hatiku sedangkan kau sangat bodoh dengan masih mencintai orang yang bahkan sudah meninggal!" Kata Elden setengah berteriak. Aku yakin ada masalah lain selain ciuman Elden padaku yang membuat mereka bertengkar. Aku jadi merasa salah tempat. Alden benar, tak seharusnya aku mendengar semua ini...
Senyuman sudah hilang dari wajah Alden. Auranya benar-benar gelap. Matanya menatap tajam pada Elden. " Augue..." Alden berbicara cukup pelan. Namun aku dapat mendengarnya mengucapkan mantra dengan jelas. Itu.....
Bola api...
Api sebesar bola basket melesat cepat ke arah Elden. Dan El terlalu shock untuk bereaksi. Elden hanya diam mematung tak menyangka kakaknya tega menyerangnya dengan sihir tingkat tinggi.
" Aqua." Kataku cepat mengucapkan mantra yang ku ingat. Semoga ini berguna.
Tapi yang keluar hanya air kecil yang tak cukup kuat untuk memadamkan api yang berpijar hebat dari sihir Alden. Namun, sedetik kemudian bola api itu lenyap seketika sebelum sempat mengenai Elden.
" Ini hanya peringatan untukmu Elden! Kalau kau berani mengusik masa laluku lagi, aku akan membiarkan bola apiku membakarmu hidup-hidup." Alden berkata penuh penekanan pada saudara kembarnya.
Elden balik menatap tajam pada Alden. " Kau bodoh kak!" Bentak Elden. Apa-apaan dia itu? Sengaja memancing emosi Alden lagi? "Lupakan gadis itu kak. Aku tidak akan melepaskan Kiara kecuali itu untukmu." Kata Elden lalu dia langsung lenyap, berteleportasi entah kemana.
Lama kami terdiam pada posisi kami sekarang. Aku maupun Alden tak berusaha memulai obrolan. Hanya berdiri diam sibuk dengan pikiran masing-masing.
Alden beranjak menuju kamarnya tanpa mengatakan apapun. Bahkan sepertinya dia lupa dengan keberadaanku. Aku yang bingung harus bagaimana memilih mengikuti Alden dari belakang.
Alden duduk di atas ranjangnya memandang keluar jendela, wajahnya terlihat sangat lelah dan sedih. Seperti orang yang sedang memanggul beban berat di pundaknya. Aku memilih duduk di sampingnya. Tak terlalu dekat, dan masih tetap diam. Ku pikir Al butuh ketenangan.
......
Sudah hampir satu jam kami berdiam diri tanpa merubah posisi duduk sedikitpun. Aku memandang Alden. Wajah tampannya masih murung seperti terakhir kali Elden pergi. Tak berubah sama sekali. Apakah yang di katakan Elden tadi benar? Selama ini Alden selalu memendam cinta untuk seorang gadis yang....
Ah... aku tak bisa membayangkan bagaimana perasaannya saat ini.
Tiba-tiba, ku lihat sebutir kristal bening meluncur pelan dari sudut mata Alden. Dia menangis. Sejauh yang aku tahu. laki-laki tak akan menangis kecuali itu sangat menyakitkan. oh Al.. apa yang bisa ku lakukan untukmu.
Tangisan Alden semakin deras, meski tanpa suara, tapi butiran air matanya turun semakin lebat.
" Alden..." Aku menepuk-nepuk bahunya pelan. berusaha menenangkannya. Al masih tidak bereaksi. Aku menggeser dudukku semakin dekat kepadanya. " Al... kumohon berhentilah menangis."
Tak ada jawaban. Hanya tangisannya yang semakin deras membasahi pipinya. Entah apa yang aku pikirkan. Aku menarik kepala Alden agar bersandar di bahuku. Aku sering melihat ini di film, ini cara paling efektif untuk menenangkan seseorang.
Alden masih diam, hanya sekarang tangisannya di iringi sesenggukan pelan. Aku benar-benar tak tega melihatnya seperti ini. " Al tenanglah, semua sudah berlalu, jangan mengubur dirimu dalam kesedihan seperti ini." Aku mengusap kepalanya dengan lembut. Alden terus sesenggukan. Sekarang hatikupun di penuhi kesedihan. Aku tak menyangka Alden bisa serapuh ini. Dia yang selalu membawa keceriaan sekarang menangis, memilukan.
Tangan Alden bergerak memelukku pinggangku. Aku membiarkannya mencari kenyamanan. Tangisnya tak juga mereda. Dia terisak-isak dipelukanku.
" Kiara..." Akhirnya Alden bersuara.
" Aku disini Al.." Kataku masih dengan mengusap pelan kepalanya.
" Aku sangat merindukannya.." dan tangis Alden kembali pecah. Isakannya semakin keras.
" Aku tahu." Jawabku lembut. Sekarang aku ikut menangis... hanya dengan satu kalimat itu, aku tahu betapa sakitnya hati Al... Merindukan orang yang tak mungkin bisa di temuinya lagi.
Lama kami dalam posisi ini, membagi tangis bersama. Alden semakin erat memelukku. Seiring tangisannya yang semakin dalam.
.....
" Dia gadis yang sangat pemalu." Kata Alden begitu tangisnya mereda. Dia tak berusaha melepaskan pelukannya, dan aku membiarkannya. Aku yakin dia tidak sedang mencari kesempatan.
" Tidak terlalu cantik tapi bagiku dia sangat manis." Lanjut Alden. Matanya menerawang jauh.
" Sudah lama aku memperhatikannya, tapi karena dia pemalu, sangat sulit untuk menyapanya. Dia selalu menjauh begitu aku ingin mendekatinya." Aku hanya diam, menjadi pendengar yang baik untuknya. Tanganku tak berhenti mengusap kepalanya.
" Aku hanya bisa melihatnya dari jauh karena dia seperti tak ingin di dekati. Meskipun aku sangat ingin bersamanya." Jeda beberapa saat, sepertinya dia sedang menekan tangis yang kembali ingin keluar.
" Sampai suatu hari, entah bagaimana dia menyapaku. Gayanya juga berubah. Dia menjadi sosok periang dan mudah bergaul. Meskipun aku merasa aneh tapi aku mengabaikan pikiranku. Yang penting aku bisa dekat dengannya."
" Kami sangat bahagia saat itu, hampir setiap hari selalu kami habiskan bersama. Hingga bencana itu datang...." sebutir air mata kembali mengalir di pipinya.
" Hari itu... Pengawal kerajaan menyeret gadisku dari sekolah, membawanya ke meja persidangan. Aku berusaha mendampinginya tapi ayah menyeretku ke atas, aku hanya bisa menyaksikannya duduk sendirian menghadapi peradilan dari tempatku berdiri. Elden dan Filia menjagaku ketat agar aku tidak melakukan hal bodoh."
" Dia.... di tuduh bersekutu dengan iblis terkutuk. Kau tahu kan? 5 iblis abadi yang di segel oleh leluhur kami. mereka masih bisa berinteraksi dengan orang luar dan memberikan kekuatan pada siapapun yang bersekutu dengannya. Tentu saja tidak gratis. Bersekutu dengan iblis terkutuk sama saja dengan menggadaikan jiwamu."
" Kekasihku... Dia... sedikitpun tak membantah tuduhan itu. Aku harusnya bisa dengan mudah membencinya, andai saja aku tak mendengar alasannya hari itu..."
" Dia... rela menggadaikan jiwanya demi bisa dekat denganku. Dia yang pemalu dan rendah diri merasa tak bisa menggapaiku dengan kemampuannya sendiri. Hari itu dia tersenyum, menatapku penuh cinta dan mengucapkan kata-kata terakhirnya.. ' aku tidak menyesal sekalipun harus mati, karena aku pernah bahagia bersamamu Alden. Terima kasih....' lalu..." Alden kembali terisak.
" Lalu mereka membunuhnya.. dengan mantra kematian.." Tangis Alden kembali pecah. Tubuhnya bergetar hebat.
" Aku bodoh Kiara. Jika saja aku berusaha lebih keras untuk mendekatinya. Dia tidak akan nekat dan berakhir seperti ini... Ini semua salahku Kiara,,, dia meninggal karena aku..."
" Tidak Al.. Jangan menyalahkan dirimu.. Ini sudah menjadi takdirnya." Ucapku sedikit terisak. Ceritanya terlalu memilukan.
" Tidak... Aku memang salah. Seharusnya aku berusaha untuk menyatakan cintaku padanya sejak lama.. Tapi aku terlalu pengecut. Sekarang aku hanya bisa menyesali kebodohanku."
" Sudahlah.. Itu sudah berlalu Al... tenangkan dirimu." Kami kembali terdiam. Setidaknya Alden sudah lebih tenang, tangisnya sudah berhenti.
" Kiara.. terima kasih.." Kata Al setelah cukup lama kami terdiam. Dia melepaskan pelukannya tapi masih tetap bersandar di bahuku.
" Sama-sama." Jawabku tersenyum. meski aku tahu dia tak dapat melihat senyumku karena matanya terpejam.
" Kalau tidak ada kau, mungkin aku sudah meruntuhkan istana ini untuk melepaskan emosiku." Kata Al setengah tertawa. Aku menyambutnya dengan tertawa lega. Setidaknya Alden sudah kembali seperti semula.
" Jadi kau menyuruhku kesini untuk melihat semua ini Al?" Tanya Daniel dingin yang entah sejak kapan ada di sampingku, bersandar pada meja belajar Alden disisi kanan ranjang.
Aku dan Alden langsung membeku, hanya mampu menatap Daniel dengan rasa bersalah....
* * * * * * * * * * * *
to be continue...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar