"Kamu percaya takdir?" Lelaki tinggi berperawakan sedang itu bertanya pada gadis di depannya.
Gadis berkulit putih itu hanya memandang orang itu dengan heran. Mereka tidak saling kenal dan itu kali pertama mereka bertemu. Dan menurutnya, 'Takdir' bukanlah hal yang lazim digunakan untuk pembuka percakapan.
"Kenapa?" Gadis itu bertanya balik. Karena dia tidak melihat alasan baginya untuk menjawab pertanyaan itu.
"Karena aku percaya. Makanya aku ingin tahu kamu percaya atau tidak." Lelaki itu tersenyum hangat. Matanya memancarkan sinar bersahabat yang sangat kental.
"Kenapa kamu ingin tahu aku percaya atau tidak?" Gadis itu masih tak mau memjawab pertanyaan si lelaki.
Lelaki itu terdiam sejenak. Matanya mempelajari struktur wajah gadis didepannya. "Karena... Ku pikir kita berdua berdiri disini karena takdir."
Gadis itu balik menatap lelaki di sampingnya. Dengan pandangan paling heran yang pernah dia gunakan seumur hidupnya. Karena, siapa yang akan berpikir, dua orang yang sedang berdiri mengantri di depan kasir di pusat perbelanjaan yang sangat ramai dikarenakan oleh takdir? Dan hey, bukan cuma mereka berdua yang berdiri disana. Ada sedikitnya lima orang yang mengantri di setiap kasir. bahkan mereka bisa dibilang berada di tengah hiruk pikuk keramaian. Bagaimana bisa lelaki yang terlihat berpendidikan tinggi dan berwawasan luas itu berpikir bahwa mereka "dipertemukan takdir"?
"Aku nggak punya alasan untuk menjawab pertanyaanmu." Jawab gadis berumur belasan itu datar. Dia berharap orang di depannya cepat menyelesaikan transaksi agar bisa segera terbebas dari "orang aneh" ini.
"Aku hanya ingin mendengar jawabanmu. Itu saja." Kata lelaki itu lagi. Dia melonggarkan sedikit dasinya kegerahan, lebih karena ditatap gadis didepannya yang terang-terangan menampakkan ketidaksukaannya.
"Namaku Nadira. Kamu hanya ingin berkenalan kan? Lain kali lebih baik kamu langsung saja menanyakan nama daripada mengangkat percakapan basa basi yang tidak pada tempatnya seperti itu." Gadis itu berkata dengan sangat tidak ramah.
Nadira langsung membalikan badan begitu selesai berbicara. Dia tak habis pikir pada orang yang berdiri tepat di belakangnya itu. Lelaki gagah dan karismatik seperti dia, yang terlihat sangat berpengalaman soal wanita, kenapa bisa jadi sekonyol ini.
"Aku tidak tanya namamu, aku tanya kamu percaya pada takdir atau tidak?" Lelaki itu kembali menegaskan pertanyaannya.
Ya. kali ini Nadira sudah benar-benar kesal. "Memang apa urusannya sama kamu aku percaya takdir atau tidak?" Tanpa sadar suara Nadira meninggi.
"Tentu saja itu urusanku. Karena aku yakin kamu adalah takdirku." Lelaki itu ikut terpancing emosi Nadira. Namun dia masih bisa menahan suaranya agar terdengar tenang.
Nadira mendelik tak percaya pada apa yang barusan didengarnya. Sebenarnya apa sih masalah cowok ini? Stress ya dia? "Bagaimana kamu tahu kalau aku itu 'Takdir'mu?"
Tanpa di sangka, lelaki itu memegang lembut pipi kiri Nadira. "Aku sendiri tidak tahu. yang aku tahu kamu adalah takdirku." Mata lelaki itu memancarkan cinta yang berlebihan. Sampai cahayanya menyilaukan mata Nadira.
Untuk sedetik Nadira tak bereaksi. Terlalu kaget dengan perlakuan yang benar-benar diluar ekspektasinya. Dan juga... Sepertinya dia sendiri mulai mengerti dengan maksud "takdir" yang dikatakan lelaki itu. Ada perasaan asing yang baru saja menyelinap ke dalam hatinya.
"Apapun itu, aku tidak melihat ada hal yang masuk akal disini. So, Shut the hell up! Dan berhenti menggangguku lagi." Nadira memilih mengabaikan perasaan aneh itu dan kembali mengobarkan emosinya. Ditepisnya tangan orang itu dari pipinya.
Lagi-lagi, reaksi lelaki itu diluar perkiraan Nadira, dia memegang tangan kananya dengan lembut. "Percayalah padaku Nadira. Aku tidak mungkin salah. Aku berkali-kali melihatmu di dalam mimpiku."
Nadira tersenyum mengejek. "Dan darimana aku bisa percaya pada perkataanmu itu? Apa kamu semacam orang yang bisa merekam mimpimu? Kalau iya, coba perlihatkan padaku."
"Akan kuperlihatkan." Nadira membelalakan mata mendengar jawabannya. Bagaimana orang itu bisa memperlihatkan mimpinya pada Nadira?
Lagi-lagi tanpa disangka, lelaki itu menarik tangan Nadira keluar dari depan kasir meninggalkan keranjang belanjanya. Langsung menuju tempat parkir yang ada di atap gedung itu.
"Apa yang kau lakukan?" Nadira memberontak. Mencoba melepaskan diri dari orang asing yang menurutnya sedang berusaha menculiknya.
"Bukankah kamu memintaku untuk menunjukkan mimpiku. Aku akan menunjukannya jadi tenanglah dan ikut denganku." Katanya berusaha terlihat tenang, karena banyak orang yang memperhatikan mereka.
Nadira memutuskan untuk menurut. Mungkin ini keputusan yang akan disesalinya nanti. Namun rasa penasaran mengalahkan kekhawatirannya. Dia ingin tahu apakah orang yang sedang menariknya ini serius dengan perkataannya atau dia hanya orang gila yang butuh perawatan intensif.
Lelaki itu berhenti di depan sebuah mobil, yang Nadira yakin itu adalah mobilnya. Lalu membukakan pintu penumpang dan mempersilahkan Nadira masuk. Nadira ragu sejenak, namun kembali menurut dan masuk ke dalam mobil. Lelaki itu berjalan memutari mobil dan masuk ke kursi pengemudi.
Lelaki itu menyalakan mobilnya dan mulai menjalankannya dengan kecepatan sedang. Nadira mulai khawatir. "Mau kemana kita?"
"Menemui temanku, hanya dia yang bisa menunjukan mimpiku padamu." Lelaki itu mulai mempercepat laju mobilnya.
Firasat Nadira berubah buruk. "Siapa tepatnya temanmu itu?"
Lelaki itu tersenyum lembut. "Malaikat maut, dan untuk bertemu dengannya,,," Dia tak pernah menyelesaikan kalimatnya karena dalam sekejap mobil itu menerjang dinding pembatas di pelataran parkir. Mereka terjun bebas dari lantai lima gedung itu.
Slide-slide kejadian muncul tiba-tiba di kepala Nadira. Banyak kejadian dari masalalu. Namun ada beberapa yang tak di kenalinya. Dan anehnya, lelaki disebelahnya ini ada didalam bayangan itu. Kemudian, hanya gelap yang terlihat.
*******
"Kau sudah melihatnya? Mimpi-mimpiku?" Lelaki tak dikenal itu berdiri di samping Nadira. Masih dengan senyum yang sama.
Nadira tidak menjawab. Dia sibuk melihat sekelilingnya. Hanya putih yang terlihat sejauh mata memandang. "Apa aku sudah mati?"
"Belum." Lelaki itu menjawab tenang. "Tapi kita masih di alam bawah sadar."
"Ehmm" Seseorang menyela pembicaraan mereka berdua.
Lelaki itu tersenyum senang. "Ah, Nadira. Ini malaikat maut yang aku ceritakan."
"Hei Devon. Lama tidak bertemu." Orang bertubuh tinggi menjulang dengan kulit yang sangat pucat itu tersenyum aneh. Mungkin maksudnya tulus. Tapi terlihat sangat aneh dengan wajah kakunya.
Nadira memandang mereka berdua dengan tatapan bertanya. Dia masih bingung dengan semua yang terjadi.
"Jadi.." Malaikat maut mulai bercerita. "Kau ingat setahun lalu kau pernah hampir mati tenggelam kan Nadira?" Nadira mengangguk membenarkan.
"Devon punya semacam kekuatan supranatural yang sangat unik. Dia bisa merasakan keberadaan benang jodoh. Dan dulu, saat dia merasakan kekuatan benang jodohnya semakin melemah, dia mencariku dan membuat penawaran denganku."
"Mencarimu? Bagaimana caranya?" Nadira tampak bingung.
"Seperti yang dia lakukan sekarang. Nyaris mati." Sang malaikat menjawab acuh. "Dia memintaku untuk menunda kematianmu. Dia bersedia membagi sisa umurnya denganmu agar kalian punya kesempatan untuk bisa bertemu di dunia."
Nadira menatap Devon tak percaya. Bagaimana bisa dia mengorbankan umurnya sendiri demi orang yang bahkan belum dikenalnya?
"Namun ternyata, menemukanmu jauh lebih sulit dari yang dia perkirakan. Setahun ini dia berpindah-pindah berusaha keras untuk menemukanmu. Karena waktunya sangat sedikit."
Perasaan Nadira seperti diaduk-aduk mendengar penuturan malaikat itu. "Waktunya sedikit?" Tanya Nadira penuh antisipasi.
"Ya, karena sisa umurnya sendiri hanya dua tahun sebelum dia mati." Wajah Nadira seketika memucat. "Karena sudah dibagi dua hanya ada masing-masing setahun untuk kalian."
Kesunyian menyelimuti ruang hampa serba putih itu.
Devon berjalan mendekat ke arah Nadira. memegang kedua tanganya. Berbisik pelan di telinganya. "Maafkan aku karena tak bisa menemukanmu lebih awal." Nadira hanya diam. Air mata bergulir pelan di pipinya.
"Yup, waktunya sudah habis sekarang." Sang malaikat memisahkan mereka. "Aku harus membawa kalian ke alam kematian. Dan maafkan aku karena kalian harus terpisah lagi."
Sang malaikat dan Devon tiba-tiba saja lenyap dari pandangan. Nadira ketakutan sendirian di tempat itu. Hampa.
"Maaf meninggalkanmu sebentar." Malaikat maut kembali pada Nadira. "Sekarang giliranmu." Dalam sekejap mereka juga menghilang. Pergi ke alam lain.
**********
Di depan gedung pusat perbelanjaan itu banyak orang berkerumun. Sebuah mobil terjun bebas dari lantai lima. Kedua orang yang ada didalamnya tewas seketika.
Tangan mereka saling menggemgam dengan erat sampai tim penyelamat kesulitan mengeluarkan mereka dari dalam mobil.
**********
The end
Tidak ada komentar:
Posting Komentar