Senin, 22 Juli 2013
Fairy Tale Chapter 23 Serenity
Caith POV
" Jadi menurutmu bagus tidak kalau kita buat panggung kecil disini?" Aku bertanya pada Veon yang tepat berada di sampingku. Matanya mengedar ke seluruh taman mencari view yang cocok untuk di jadikan pusat pesta.
" iya benar disitu saja, nanti kita minta bantuan kak Alden untuk menghias pohon itu dengan sihirnya agar terlihat lebih cantik." Jawab Veon masih dengan memandang sekelilingnya.
" Baiklah, nanti kita beri meja-meja tempat makanan di bagian kanan panggung saja ya. oh iya, Kiara meminta kita memanggil peri hutan Ve, bagaimana menurutmu?"
" Peri hutan? Kak, kau kan tahu mereka tidak suka keramaian."
" Iya aku tahu, tapi susah sekali menolak keinginan Kiara. Ayolah, nanti kita bicara pada mereka ya, tugas mereka cuma terbang berkeliling taman kok, menyenangkan Kiara saja."
" Baiklah, setelah ini kita ke hutan ya." Wajah Veon terlihat berseri. Sepertinya dia bahagia sekali karena Kiara akan mengadakan pesta disini.
" Bagaimana kau dan Kiara? Ada kemajuan?" Tanyaku.
Veon menggeleng pelan, tapi wajahnya tetap bersinar bahagia. " Aku tidak mengharapkan apapun kak. Asal Kiara tetap ada di dekatku, itu sudah cukup. Lagipula, aku merasa Kiara lebih cocok dengan kak Daniel."
" Apa kau tak ingin mengejar kebahagiaanmu Ve?"
" Aku bahagia kak, sungguh! Bagiku, bahagia adalah saat aku melihat orang yang ku cintai bahagia. Meskipun bahagianya adalah bersama orang lain." Huftt adiku memang terlalu baik. Terlalu sabar, dan terlalu bodoh dan ceroboh.
Lama kami terdiam, menekuni tugas masing-masing di taman bunga ini, mencoba membuat taman ini secantik mungkin untuk pesta pengangkatan Kiara.
" Huaaaaahhhh" Terdengar teriak kegirangan entah darimana, suaranya jauh.
" Ve, kau dengar itu?"
" Iya kak, siapa ya?" Aku memberi isyarat pada Veon agar mengikutiku mencari sumber suara. Setelah berjalan cukup jauh, kami melihat seseorang di antara rumpun bunga tulip. Masih di hamparan taman bunga milik ibu, dan.. orang itu,,, seenaknya memetik bunga-bunga ibu tanpa ijin sama sekali.
" Hei kau! Lancang sekali kamu memetik bunga kerajaan tanpa ijin." Kataku ketika jarakku dengan orang itu cukup dekat. Dia seorang gadis.
Gadis itu terkejut dan menjatuhkan semua bunga yang baru di petik olehnya. " Pa..pangeran,,. Maaf... Maafkan saya.."
" Ayo ikut kami ke istana. Kau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu pada ratu." Kataku tegas.
" Pangeran tolong jangan hukum saya." Gadis itu mengiba. "Saya hanya ingin memetik sedikit saja, saya sangat menyukai bunga tulip. Tapi di negara ini hanya di taman bunga kerajaan yang ada bunga tulipnya. Saya tidak mungkin terbang keluar negeri hanya untuk beberapa tangkai bunga tulip."
" Itu tidak bisa di jadikan alasan untuk membenarkan pencurian!"
" Pangeran, ampuni hamba." Gadis itu menunduk ketakutan melihatku yang mulai marah.
" Ayo ikut kami ke istana." Kataku tegas. Gadis itu gemetar demi mendengar dirinya akan di giring ke istana karena mencuri beberapa tangkai bunga tulip. Sebenarnya aku tak ingin menghukumnya. Aku hanya ingin memberinya pelajaran agar tak mengulangi perbuatannya lagi. Paling nanti dia akan di ceramahi oleh ibu. Aku yakin ibu tidak akan menjatuhnkan hukuman hanya untuk beberapa tangkai bunga.
Veon berjalan mendekati gadis itu. " Tidak apa-apa nona, ibu tidak akan menghukummu hanya untuk beberapa tangkai bunga. Ibuku tak segalak kak Caith, tenang saja." Kata Veon kepada gadis itu. Aku langsung memberi tatapan garang padanya. Veon hanya nyengir lebar menanggapi kemarahanku.
Perlahan gadis itu mengangguk dan menurut ikut ke istana. Aku terbang rendah mendahului untuk memimpin jalan. Veon bersama gadis itu membentangkan sayapnya dan terbang mengikutiku.
" Kakak... sayapnya...." Kata Veon terkejut. Spontan aku menoleh ke belakang dan melihat ke arah veon dan gadis itu.
Sungguh... Ini... Dia.... Gadis itu.... sayapnya... Sama persis dengan sayapku.
Aku terpaku di tempat. Memandang takjub padanya... Aku tak berpikir akan secepat ini bertemu dengan jodohku, apalagi dia yang datang mendekat ke arahku... Sungguh... Suatu keberuntungan.
Aku langsung melupakan kasus pencurian bunga tulip itu dan terbang mendekat ke arahnya. Merengkuhnya ke dalam pelukanku dan melepaskan rindu yang tiba-tiba memenuhi relung dadaku.
" Siapa namamu sayang?" Tanyaku masih dengan mendekapnya erat.
" Carra." Jawabnya lembut.
- - - - - - - - - -
Kiara POV
" Jadi kau menyuruhku kesini hanya untuk melihat ini Al?" Itu... Suara Daniel yang entah sejak kapan ada di kamar Alden dan melihat posisi kami yang pasti membuatnya salah paham.
" Daniel, ini tidak seperti yang kau bayangkan." Kata Alden mencoba menenangkannya. Alden berdiri mendekati Daniel, tapi Daniel langsung menghilang tanpa pamit sama sekali. Sepertinya dia benar-benar marah.
" Pasti sekarang Daniel tidak akan mau bertemu denganku lagi." Kataku lebih kepada diriku sendiri.
" Kejar dia Kiara, Bicaralah padanya meski dia tak mau mendengarkanmu. Ini liontinku, pakailah untuk mencarinya."
" Al.. Aku takut."
" Percayalah, kau pasti bisa." Kata Alden menguatkanku.
Aku mengangguk pelan dan segera menghilang dari kamar Alden dan sekarang aku berada di belakang Daniel, sepertinya dia belum menyadari keberadaanku.
Taman di sekolah kami.. Kenapa Daniel memilih tempat seperti ini sih. Aku jadi tidak leluasa untuk bicara padanya, bagaimana kalau ada temanku yang melihat? Malu kan!
" Kiara bodoh!" Umpat Daniel pelan, tapi aku masih bisa mendengarnya karena aku tepat di belakangnya.
" Kamu marah?" Tanyaku.
Daniel terlonjak kaget mendengar kata-kataku yang tiba-tiba.
" Maafkan aku, tapi kamu salah paham, aku tadi hanya menenangkan Alden yang sedang sedih. Kami tidak ada hubungan apa-apa." Lanjutku.
" Aku tidak pernah minta penjelasanmu." Kata Daniel sambil beranjak pergi.
" Aku tahu, aku hanya tidak ingin kamu salah paham. Aku tidak ingin kita saling diam seperti ini Daniel. Aku ingin kamu kembali seperti sebelumnya. Daniel yang care dan terbuka dengan perasaannya."
" Hahh!! Terbuka dengan perasaanku? Kamu pasti menertawakanku kan? Apa kamu bangga? Veon, aku, sekarang Alden juga tergila-gila padamu." Kata Daniel sinis.
" Aku tidak menertawakanmu Daniel."
" Apa pedulimu? Ini perasaanku bukan perasaanmu!" Daniel membuang muka, wajahnya memerah, entah karena marah, atau sedih, atau malu?
" Tentu saja aku peduli!" Kataku yang juga mulai terbawa emosi. " Karena perasaanmu benar-benar penting untukku. Kamu tahu kenapa? Karena aku juga mencintaimu sampai rasanya aku hampir gila karena sikap dinginmu yang terus menyiksa hatiku."
Aku tak dapat lagi membendung tangisanku. Aku berusaha sekuat tenaga agar tidak terisak keras. Leherku sampai rasanya sangat sakit karena mati-matian menahan tangis.
" Kamu.. apa Kiara? Cepat katakan lagi.. Aku ingin dengar." Kata Daniel yang lebih menyerupai sebuah bisikan.
" Aku mencintaimu." Jawabku tak kalah pelan.
" Katakan lagi." Kata Daniel yang melangkah mendekat.
" Aku cinta kamu Daniel."
Satu langkah cepat dan Daniel memelukku erat. " Aku juga mencintaimu Kiara.. Aku sangat mencintaimu.. Maafkan aku, jangan menangis lagi, tolong maafkan aku."
Aku tak menjawab kata-katanya, hanya membalasnya dengan pelukan yang lebih erat.
Lama kami berdiam dalam pelukan yang membahagiakan. Tanpa suara. Tanpa Kata. Tapi kami saling tahu. Saat ini kami bahagia.
- - - - - - - - - - - - -
Author POV
Mereka tak menyadarinya
Kiara dan Daniel sama sekali tak tahu kalau ada sepasang mata yang menangis deras melihat mereka bersatu dalam cinta.
Sarah...
- - - - - - - - - - - - - - -
" Myrae....."
" Bagaimana kabarmu sayang... "
" Maaf, sudah lama aku tidak datang ke makamu, apa kamu rindu padaku?"
" Aku sangat merindukanmu Myrae, aku ingin sekali melihat senyummu seperti dulu."
Alden mengusap batu nisan di makam kekasihnya dengan sayang.
" Sayang, aku akan terus memegang janjiku... Menjaga cinta kita sampai aku mati. Sepertimu yang membawa cinta kita sampai mati."
" Maafkan aku yang tak mampu menjagamu... Dan.... Terima kasih sudah mengukir kenangan indah bersamaku."
" Aku akan terus mencintaimu... kekasihku..."
- - - - - - - - - - - -
Elden POV
" El... Bagaimana dengan tugasmu untuk mendekati ratu?" Tanya Ayah dengan suara berwibawanya. Ayah selalu menggunakan aksen berwibawa jika ingin menyuruhku, karena dia paham betul aku tak akan bisa membantahnya.
" Sudah ku laksanakan ayah. Sekarang kak Alden marah besar padaku." Jawabku sambil duduk malas di sofa di dalam kamar orang tuaku.
" Tak usah pedulikan kakakmu. Semakin lama dia semakin tak bisa di atur." Kata ayah jengah.
" Aku juga tidak suka di atur ayah, aku sudah terlalu dewasa untuk melakukan semua yang ayah inginkan. Aku juga punya jalan pikiranku sendiri. Hanya saja aku tak pernah bisa membantah ayah." Kataku jujur sambil beranjak keluar ruangan. Bosan juga mendengarkan ceramah ayah yang selalu sama setiap saat. Apa semua orang tua selalu begitu? Memaksakan kehendak kepada anaknya tanpa bertanya bagaimana keinginan mereka.
" Filia?" Ku lihat Filia berdiri berkacak pinggang di depan pintu kamar ayah. Apa dia mendengar percakapanku dengan ayah?
" Ikut aku!" Filia langsung menarikku menuju kamarnya. Lalu membanting pintunya dengan keras.
" Jelaskan padaku kak! Kakak mendekati Kiara karena suruhan dari ayah? Kakak mau mempermainkan Kiara?" Tanya Filia dengan mata melebar marah.
" Tenang dulu, sini duduk." aku membimbing Filia duduk di sampingku di atas ranjangnya. " Iya, kakak memang di suruh ayah untuk mendekati Kiara, tapi kakak tidak mempermainkan Kiara. Kakak mendekatinya sebagai teman, kau lihat sendiri kan, kakak hanya menjahili Kiara, tak berniat ber-romantis-romantisan sama Kiara." Jelasku.
" jadi kakak tidak menyukai Kiara?" Tanya Filia yang sudah mulai tenang.
" Tidak sayang, Kiara itu lebih menyenangkan di jadikan teman atau adik. Kakak tidak tertarik dengan tipe seperti Kiara."
" Sayang sekali, Filia lebih suka kak Elden sama Kiara daripada sama salah satu pacar-pacar kakak yang ganjen itu. Filia suka Kiara kak, Filia ingin Kiara jadi kakak iparku."
" Hahaha, kau ini. Minta sama kak Alden saja. Kak El lebih suka gadis yang sedikit keras dan cuek. Rasanya lebih menantang." Kataku sambil tersenyum lebar.
" Ah, kak Alden tak bisa di harapkan. Dia terus saja memuja Myrae yang sudah lama meninggal."
" Hush, jangan bilang begitu, kita harus menghargai perasaan orang lain."
" Iya-iya, Eh kak, kira-kira Filia bisa pacaran dengan kak Caith tidak?"
Aku langsung tersedang ludahku sendiri saat mendengar pertanyaan Filia. Dari sekian banyak pria, kenapa harus Caith? " maksudmu Caith pemegang kunci dunia peri?" Tanyaku.
Filia mengangguk bersemangat.
" Tentu tidak bisa Filia. Dia peri dan kau iblis. Carilah yang dari dunia gelap saja."
" Tapi kak Caith sangat tampan, wajahnya sangat menyenangkan. Kalau tersenyum seperti anak kecil, Filia suka kak."
" Suatu hari nanti kau pasti akan menemukan yang jauh lebih menawan dari Caith. kamu masih terlalu muda sayang."
Filia hanya memanyunkan bibirnya mendengar ucapanku.
" Sudah ya, kakak pergi dulu.
- - - - - - - - - - - - -
to be continue
Minggu, 14 Juli 2013
Fairy Tale Chapter 22 Misunderstanding
Alden POV
" Baru pulang." Sapaku pada Daniel yang baru saja melangkahkan kaki memasuki kamarnya. Aku memang sengaja menunggunya di kamar untuk "menceramahinya".
" Apa yang kau lakukan disini Al?" Tanya Daniel tak semangat. Wajahnya benar-benar keruh. Terlihat kusut dan lelah. Kalian pernah lihat pakaian yang baru di remas remas dan belum di setrika lalu tiba tiba di bentangkan? Ya, seperti itulah tampang Daniel saat ini.
Daniel melemparkan tas sekolahnya ke atas ranjang dengan asal, lalu melepaskan kedua sepatunya dan juga melemparkannya ke pojok kamarnya. Dan, uh, oh,, apa dia bermaksud berganti pakaian di depanku?
" Kenapa kau membuka bajumu di depanku?" Bentakku pada Daniel yang baru saja melepas kemeja putihnya. Meskipun sesama lelaki, aku tidak suka ada orang yang seenaknya telanjang di depanku.
" Berbalik." Perintahnya dingin.
Tanpa disuruhpun aku sudah memunggunginya. Tidak mau mengotori mataku dengan "pemandangan" seperti itu.
" Ada apa kemari?" Tanya Daniel tanpa ekspresi begitu dia selesai berganti pakaian. Dia membaringkan tubuhnya di ranjang. Terlihat lelah.
Aku menyandarkan punggungku di dinding kamarnya dan menyilangkan kedua tanganku di dada. "Kalau kau seberantakan ini tanpanya, kenapa kau membuatnya menangis?" Tanyaku.
" Apa maksudmu?" Tanyanya menatap lurus ke arahku.
" Tidak usah berlagak bodoh! Tadi pagi aku menemukan Kiara menangis sendirian. Dan KAU! yang membuatnya menangis." Kataku balas menatap matanya.
Setelah beberapa saat terdiam, dia hanya membuang muka tanpa mengatakan apapun.
" Aku tak tahu pasti apa yang terjadi tapi aku yakin itu hanya salah paham. Jadi berhentilah bersikap seperti anak kecil Daniel. Kasihan Kiara." Kataku berusaha membujuknya. Daniel bisa menjadi sangat keras kepala kalau dia mau.
" Bukan urusanmu." Katanya tanpa memandangku.
Aku maju menuju ke arah Daniel, berhenti tepat di depannya dan menjewer telinga kirinya yang lebih dekat padaku.
" Ouchhh. Hentikan Al! Apa yang kau lakukan." Bentak Daniel berang.
" Hukuman untukmu karena membuat adikku menangis." Jawabku enteng.
" Sejak kapan Kiara punya kakak seorang IBLIS huh?" Daniel masih meringis memegangi telinga yang memerah karena ulahku.
" Terserah kau saja. Oh iya, sekarang Kiara ada di duniaku. Aku ada banyak pekerjaan sampai tengah malam. Jadi kau harus menjemputnya nanti kalau tidak ingin Kiara menginap di tempatku."
" Apa peduliku." Kata Daniel berusaha acuh meski ku lihat kekagetan di wajahnya.
" kalau kau tidak menjemputnya aku akan memintanya menginap. Tapi aku tak bisa menjaganya karena aku sangat sibuk hari ini. Dan aku yakin kau tahu persis bagaimana playboy nya adiku Elden." Kataku berusaha memanas-manasi Daniel.
Daniel hanya diam tak merespon kata-kataku. Tapi aku yakin dia nanti akan datang menjemput Kiara. Yahh, usahaku untuk mendekatkan merela berdua berhasil. Aku tidak tahan melihat kiara bersedih seperti tadi.
- - - - - - - -
Kiara POV
" Kamu sudah bisa sihir Kiara?" Tanya Filia dengan mata melebar.
Aku memandangi kedua tanganku dengan takjub. Aku tadi memang berharap aku bisa sihir dan tanpa sadar mengatakan salah satu kata dalam bahasa latin yang ku pelajari dari buku yang di berikan ratu Esme. Aku tidak menyangka kalau akan bereaksi.
" Aku juga tidak tahu." Kataku tanpa mengalihkan pandanganku dari kedua tanganku.
" Auhh,," Terdengar keluhan Elden yang mencoba bangun dari posisi jatuhnya tadi. Dia masih mengusap-usap kepalanya yang terbentur tanah. "Dan kenapa kau harus mencoba kemampuanmu padaku Kiara?" Tanya Elden sebal.
Mendengar itu aku menjadi mengingat kejadian tadi. Aku langsung mengusap bibirku dengan sebal berusaha menghilangkan bekas bibirnya padaku. Menyebalkan.
" Ceciderit." Ucapku mengulangi mantra tadi.
Elden kembali terjatuh tapi dia sempat mengucapkan mantra. " Pulvino." dan sebuah bantal empuk mencegah kepalanya kembali membentur tanah.
" Hal yang sama tak kan terulang dua kali Kiara. Itu hukum mutlak dalam sebuah pertempuran. Ingat itu baik-baik." Kata El dengan nada menggurui yang sangat menyebalkan.
" Cultrum." Aku menyebut kata dalam bahasa latin dan seketika sebilah pisau yang berkilat sempurna berada dalam genggaman tanganku.
" A.. Apa yang kau lakukan Kiara? Aku hanya menciummu tapi kau ingin membunuhku? Kau tahu? banyak perempuan yang rela mati demi mendapat ciuman dariku." Kata El sedikit tergagap.
" Persetan dengan perempuan2 bodohmu itu! Aku tidak rela kau mencuri ciuman pertamaku!!!!" Bentakku padanya. Entah seperti apa tampangku sekarang. Aku benar benar di kuasai amarah.
" Kiara." Kata Elden yang kembali tenang. " Aku tidak tahu kalau kau belum pernah berciuman sebelumnya jadi maafkan aku. dan lagi benda seperti itu tak kan bisa membunuh iblis sepertiku. Paling hanya luka kecil yang akan segera sembuh dengan sihirku. Jadi jangan buang2 tenagamu."
Aku maju perlahan mendekati Elden. "Aku tidak sekejam itu sampai ingin membunuhmu El. Aku hanya ingin sedikit 'bereksperimen' dengan wajahmu." Kataku sambil menyeringai kejam.
Dan kulihat Elden mundur selangkah menjauhiku. " Apa yang akan kau lakukan Kiara."
Aku tak mengacuhkannya. " Filia bisakah kau buat pisau ini agar nanti meninggalkan bekas luka permanen di tempat aku menggoresnya?" Pintaku pada Filia sambil terus maju mendekati Elden.
" Kau mau apa Kiara!" Elden masih mundur menghindariku.
" Bagaimana kalau aku sedikit 'menggambar' di wajahmu El. Kurasa itu setimpal dengan perbuatanmu."
Elden terpojok, punggungnya sudah menempel pada pohon dan aku tepat berada di depannya.
" Hentikan Kiara, kau boleh melakukan apa saja tapi tolong jangan wajahku. Ini asetku yang berharga."
Lalu...
Aku menjatuhkan pisauku begitu saja dan...
Bukkk
aku meninju wajahnya sekuat tenaga.
" Sakit?" Tanyaku mengejeknya yang mengaduh kesakitan memegangi pipinya.
" Anggap saja itu teguran untuk playboy kurang ajar sepertimu!" Kataku sambil melenggang pergi kembali ke istana.
- - - - - - - - - -
Author POV
Ini sudah hampir tengah hari, tapi entah bagaimana kastil itu selalu di selimuti kegelapan yang membekukan. Sepasang muda mudi berjalan mantap memasuki kastil itu dengan bergandengan tangan. Tak terlihat sedikitpun ketakutan di wajah mereka memasuki daerah gelap yang meremangkan tengkuk semua orang.
" My lord, Pangeran Caith dan Veon siang ini akan meninjau perkebunan bunga untuk acara pengangkatan ratu tiga dunia. Mungkin ini adalah waktu yang tepat untuk Carra mendekati pangeran caith." Kata pemuda tegap bernama Dean kepada ratunya.
" Kau benar Dean. Carra kemarilah, aku akan mengubah warna sayapmu." Quenn Lamia berkata tanpa ekspresi. Gaun merah darahnya tersibak anggun begitu dia berdiri.
Peri cantik bernama Carra maju beberapa langkah mendekati ratunya. Lalu sang ratu menggumamkan mantra pelan sambil mengarahkan tongkat sihirnya pada Carra. Ya, selain iblis, makhluk lain juga bisa menggunakan sihir. Jika mereka sudah menyerahkan jiwanya pada iblis dengan kemampuan tinggi. Tapi harus dengan bantuan tongkat sihir.
Dan seketika sayap kuning Carra berubah warna menjadi sayap emas dengan detail garis-garis merah sama persis dengan milik Caith.
" Pergilah laksanakan tugas kalian."
.......
" Wahh sangat cantik, aku selalu ingin punya sayap secerah ini." Carra berputar kegirangan dengan warna baru sayapnya.
" Hentikan kegembiraanmu itu Carra, kau melukai hatiku." Kata Dean dengan cemberut.
" Maaf sayang, tapi sayap ini benar-benar cantik. Terlihat elegan dan berkelas." Kata Carra dengan wajah senangnya. Pipinya merona dengan manis.
" Itu bukan baju tapi sayap Carra. Itu sudah ada bahkan sejak kita lahir. Mana bisa kau menilai sayap dengan cara seperti itu?" Dean mendengus sebal.
" Sudahlah ayo kita berangkat. Jangan sampai kita gagal sayang." Carra menarik tangan Dean agar terbang lebih cepat.
" Kau langsung ke taman bunga saja Carra. Aku harus ke istana dulu. Pangeran Veon memintaku menemaninya. Hah, aku berbakat kan? sebentar saja aku sudah menjadi orang kepercayaan pangeran Veon." Kata Dean.
" Dasar..." Carra tersenyum lebar. " Ya sudah, aku langsung ke taman ya sayang." Dan mereka terbang berlawanan arah.
- - - - - - - - - - - -
Kiara POV
" Alden kau dimana?" Aku berteriak di depan kamar Alden. Persetan dengan sopan santun. Aku sedang benar-benar marah. Aku ingin secepatnya menjauh dari Iblis narsis menyebalkan itu.
Istana terlihat lengang. Hanya beberapa pelayan yang sesekali berlalu lalang. Aku bahkan belum melihat raja dan ratu sejak aku tiba disini.
Aku mengetuk kamar Alden cukup keras. " Alden keluarlah, aku mau pulang." Kataku sambil masih mengetuk pintu kamarnya.
" Percuma kau mengetuk sampai tanganmu berdarah. Al tidak ada di rumah." Kata seseorang di belakangku yang aku yakin sekali dia adalah Elden! Karena hanya dia yang selalu menebar aura memikat dengan sengaja untuk membuat semua orang terpesona. uh? sejak kapan aku bisa merasakan aura?
" Aku tidak bertanya padamu." Jawabku ketus tanpa membalikkan tubuhku.
" Kiara... Aku kan sudah minta maaf, kenapa kau masih marah?" Tanya Elden sedikit frustasi. Ya aku tahu dia tak bermaksud kurang ajar padaku, aku bisa merasakannya. Tapi tetap saja itu ciuman pertamaku!!! Aku tidak rela.
" Apa maafmu akan membuat kejadian tadi hilang? Tetap saja kau sudah mencuri ciuman pertamaku El!" Bentakku keras.
" Kau apa El?" Tanya Alden yang tiba-tiba saja muncul di sebelahku.
" kak, ini tidak seperti yang kau pikirkan." Kata El. " Tadi itu hanya ciuman terima kasih."
" Baru sebentar aku meninggalkan Kiara dan kau berani menciumnya?" Tany Al dengan nada yang sangat mengintimidasi. Baru kali ini aku merasakan aura berkuasa yang menguar dengan sangat kuat dari Alden.
" Aku sudah bilang ini tidak seperti itu kak, tadi aku terbawa suasana. Aku hanya berterima kasih padanya." Elden semakin tak nyaman dengan keadaan.
" Aku sudah berkali-kali memperinatkanmu Elden." Kata Al tajam. Aku hanya diam mematung memilih menjadi penonton. Elden memang butuh pelajaran etika.
" Baiklah kalau ini yang kakak ingin dengar. Aku memang tak sekedar berterima kasih pada Kiara, tadi memang aku terpesona dengannya yang entah bagaimana terlihat sangat berkilau di mataku jadi aku tidak tahan untuk tidak menciumnya. Itu kan yang ingin kakak dengar?" Kata Elden dengan nada sinis. Apa???? Dia apa? Tidak tahan untuk tidak menciumku? Dia pikir aku ini apa????!!!!
" Kiara, masuklah ke kamarku, kau tak seharusnya mendengar ini. Aku perlu bicara dengan Elden." Alden memandangku dengan tatapan yang tak pernah dia pakai sebelumnya. Setengah menyuruh setengah melindungi.
" Jangan bersikap seperti itu pada perempuan kalau kau tidak ingin membuatnya jatuh cinta padamu kak. Perempuan sangat menyukai lelaki misterius dan agak pemaksa seperti itu. Kau melarangku mendekati Kiara tapi kau sendiri tak bisa menjaga sikapmu padanya." Cerocos El. Apalagi ini? Jadi Elden berusaha mendekatiku? Aku hanya mematung di tempatku. Al dan El di penuhi dengan amarah.
" Hentikan omong kosongmu Elden!" Perintah Alden dengan rahang mengeras. Dia mulai terlihat menakutkan.
" Kenapa? Aku yakin kau juga bisa merasakan pesona Kiara yang luar biasa memikat. Bedanya... aku membebaskan hatiku sedangkan kau sangat bodoh dengan masih mencintai orang yang bahkan sudah meninggal!" Kata Elden setengah berteriak. Aku yakin ada masalah lain selain ciuman Elden padaku yang membuat mereka bertengkar. Aku jadi merasa salah tempat. Alden benar, tak seharusnya aku mendengar semua ini...
Senyuman sudah hilang dari wajah Alden. Auranya benar-benar gelap. Matanya menatap tajam pada Elden. " Augue..." Alden berbicara cukup pelan. Namun aku dapat mendengarnya mengucapkan mantra dengan jelas. Itu.....
Bola api...
Api sebesar bola basket melesat cepat ke arah Elden. Dan El terlalu shock untuk bereaksi. Elden hanya diam mematung tak menyangka kakaknya tega menyerangnya dengan sihir tingkat tinggi.
" Aqua." Kataku cepat mengucapkan mantra yang ku ingat. Semoga ini berguna.
Tapi yang keluar hanya air kecil yang tak cukup kuat untuk memadamkan api yang berpijar hebat dari sihir Alden. Namun, sedetik kemudian bola api itu lenyap seketika sebelum sempat mengenai Elden.
" Ini hanya peringatan untukmu Elden! Kalau kau berani mengusik masa laluku lagi, aku akan membiarkan bola apiku membakarmu hidup-hidup." Alden berkata penuh penekanan pada saudara kembarnya.
Elden balik menatap tajam pada Alden. " Kau bodoh kak!" Bentak Elden. Apa-apaan dia itu? Sengaja memancing emosi Alden lagi? "Lupakan gadis itu kak. Aku tidak akan melepaskan Kiara kecuali itu untukmu." Kata Elden lalu dia langsung lenyap, berteleportasi entah kemana.
Lama kami terdiam pada posisi kami sekarang. Aku maupun Alden tak berusaha memulai obrolan. Hanya berdiri diam sibuk dengan pikiran masing-masing.
Alden beranjak menuju kamarnya tanpa mengatakan apapun. Bahkan sepertinya dia lupa dengan keberadaanku. Aku yang bingung harus bagaimana memilih mengikuti Alden dari belakang.
Alden duduk di atas ranjangnya memandang keluar jendela, wajahnya terlihat sangat lelah dan sedih. Seperti orang yang sedang memanggul beban berat di pundaknya. Aku memilih duduk di sampingnya. Tak terlalu dekat, dan masih tetap diam. Ku pikir Al butuh ketenangan.
......
Sudah hampir satu jam kami berdiam diri tanpa merubah posisi duduk sedikitpun. Aku memandang Alden. Wajah tampannya masih murung seperti terakhir kali Elden pergi. Tak berubah sama sekali. Apakah yang di katakan Elden tadi benar? Selama ini Alden selalu memendam cinta untuk seorang gadis yang....
Ah... aku tak bisa membayangkan bagaimana perasaannya saat ini.
Tiba-tiba, ku lihat sebutir kristal bening meluncur pelan dari sudut mata Alden. Dia menangis. Sejauh yang aku tahu. laki-laki tak akan menangis kecuali itu sangat menyakitkan. oh Al.. apa yang bisa ku lakukan untukmu.
Tangisan Alden semakin deras, meski tanpa suara, tapi butiran air matanya turun semakin lebat.
" Alden..." Aku menepuk-nepuk bahunya pelan. berusaha menenangkannya. Al masih tidak bereaksi. Aku menggeser dudukku semakin dekat kepadanya. " Al... kumohon berhentilah menangis."
Tak ada jawaban. Hanya tangisannya yang semakin deras membasahi pipinya. Entah apa yang aku pikirkan. Aku menarik kepala Alden agar bersandar di bahuku. Aku sering melihat ini di film, ini cara paling efektif untuk menenangkan seseorang.
Alden masih diam, hanya sekarang tangisannya di iringi sesenggukan pelan. Aku benar-benar tak tega melihatnya seperti ini. " Al tenanglah, semua sudah berlalu, jangan mengubur dirimu dalam kesedihan seperti ini." Aku mengusap kepalanya dengan lembut. Alden terus sesenggukan. Sekarang hatikupun di penuhi kesedihan. Aku tak menyangka Alden bisa serapuh ini. Dia yang selalu membawa keceriaan sekarang menangis, memilukan.
Tangan Alden bergerak memelukku pinggangku. Aku membiarkannya mencari kenyamanan. Tangisnya tak juga mereda. Dia terisak-isak dipelukanku.
" Kiara..." Akhirnya Alden bersuara.
" Aku disini Al.." Kataku masih dengan mengusap pelan kepalanya.
" Aku sangat merindukannya.." dan tangis Alden kembali pecah. Isakannya semakin keras.
" Aku tahu." Jawabku lembut. Sekarang aku ikut menangis... hanya dengan satu kalimat itu, aku tahu betapa sakitnya hati Al... Merindukan orang yang tak mungkin bisa di temuinya lagi.
Lama kami dalam posisi ini, membagi tangis bersama. Alden semakin erat memelukku. Seiring tangisannya yang semakin dalam.
.....
" Dia gadis yang sangat pemalu." Kata Alden begitu tangisnya mereda. Dia tak berusaha melepaskan pelukannya, dan aku membiarkannya. Aku yakin dia tidak sedang mencari kesempatan.
" Tidak terlalu cantik tapi bagiku dia sangat manis." Lanjut Alden. Matanya menerawang jauh.
" Sudah lama aku memperhatikannya, tapi karena dia pemalu, sangat sulit untuk menyapanya. Dia selalu menjauh begitu aku ingin mendekatinya." Aku hanya diam, menjadi pendengar yang baik untuknya. Tanganku tak berhenti mengusap kepalanya.
" Aku hanya bisa melihatnya dari jauh karena dia seperti tak ingin di dekati. Meskipun aku sangat ingin bersamanya." Jeda beberapa saat, sepertinya dia sedang menekan tangis yang kembali ingin keluar.
" Sampai suatu hari, entah bagaimana dia menyapaku. Gayanya juga berubah. Dia menjadi sosok periang dan mudah bergaul. Meskipun aku merasa aneh tapi aku mengabaikan pikiranku. Yang penting aku bisa dekat dengannya."
" Kami sangat bahagia saat itu, hampir setiap hari selalu kami habiskan bersama. Hingga bencana itu datang...." sebutir air mata kembali mengalir di pipinya.
" Hari itu... Pengawal kerajaan menyeret gadisku dari sekolah, membawanya ke meja persidangan. Aku berusaha mendampinginya tapi ayah menyeretku ke atas, aku hanya bisa menyaksikannya duduk sendirian menghadapi peradilan dari tempatku berdiri. Elden dan Filia menjagaku ketat agar aku tidak melakukan hal bodoh."
" Dia.... di tuduh bersekutu dengan iblis terkutuk. Kau tahu kan? 5 iblis abadi yang di segel oleh leluhur kami. mereka masih bisa berinteraksi dengan orang luar dan memberikan kekuatan pada siapapun yang bersekutu dengannya. Tentu saja tidak gratis. Bersekutu dengan iblis terkutuk sama saja dengan menggadaikan jiwamu."
" Kekasihku... Dia... sedikitpun tak membantah tuduhan itu. Aku harusnya bisa dengan mudah membencinya, andai saja aku tak mendengar alasannya hari itu..."
" Dia... rela menggadaikan jiwanya demi bisa dekat denganku. Dia yang pemalu dan rendah diri merasa tak bisa menggapaiku dengan kemampuannya sendiri. Hari itu dia tersenyum, menatapku penuh cinta dan mengucapkan kata-kata terakhirnya.. ' aku tidak menyesal sekalipun harus mati, karena aku pernah bahagia bersamamu Alden. Terima kasih....' lalu..." Alden kembali terisak.
" Lalu mereka membunuhnya.. dengan mantra kematian.." Tangis Alden kembali pecah. Tubuhnya bergetar hebat.
" Aku bodoh Kiara. Jika saja aku berusaha lebih keras untuk mendekatinya. Dia tidak akan nekat dan berakhir seperti ini... Ini semua salahku Kiara,,, dia meninggal karena aku..."
" Tidak Al.. Jangan menyalahkan dirimu.. Ini sudah menjadi takdirnya." Ucapku sedikit terisak. Ceritanya terlalu memilukan.
" Tidak... Aku memang salah. Seharusnya aku berusaha untuk menyatakan cintaku padanya sejak lama.. Tapi aku terlalu pengecut. Sekarang aku hanya bisa menyesali kebodohanku."
" Sudahlah.. Itu sudah berlalu Al... tenangkan dirimu." Kami kembali terdiam. Setidaknya Alden sudah lebih tenang, tangisnya sudah berhenti.
" Kiara.. terima kasih.." Kata Al setelah cukup lama kami terdiam. Dia melepaskan pelukannya tapi masih tetap bersandar di bahuku.
" Sama-sama." Jawabku tersenyum. meski aku tahu dia tak dapat melihat senyumku karena matanya terpejam.
" Kalau tidak ada kau, mungkin aku sudah meruntuhkan istana ini untuk melepaskan emosiku." Kata Al setengah tertawa. Aku menyambutnya dengan tertawa lega. Setidaknya Alden sudah kembali seperti semula.
" Jadi kau menyuruhku kesini untuk melihat semua ini Al?" Tanya Daniel dingin yang entah sejak kapan ada di sampingku, bersandar pada meja belajar Alden disisi kanan ranjang.
Aku dan Alden langsung membeku, hanya mampu menatap Daniel dengan rasa bersalah....
* * * * * * * * * * * *
to be continue...
Kamis, 04 Juli 2013
The Smell of Rain Part 3 -end-
Ini sudah sabtu, besok aku harus sudah balik ke jakarta.
Huftt, nggak bakal ketemu Rain lagi deh. Cowok itu, sudah mempesonaku, terus bikin
penasaran, terus ngilang gitu aja. ‘tik tik tik tik’. Wah, hujan! Seruku
girang. Ahh, tapi percuma Rain kan di rumah sakit. Ehm, nggak papa deh jalan
jalan sebentar.
Walaupun
Cuma gerimis, aku tetep bawa payung. Lagi males basah basahan. Coba ada Rain
pasti seru. Huftt, kok aku kangen ya sama dia. Kenal juga baru sebentar sudah kangen saja
ni hati. Emang susah di atur hal yang satu itu.
“Rain sudah pulang dari rumah sakit belum ya.”
Gumamku pelan.
“sudah nona manis.” Jawab seseorang di belakangku.
“ Rain! Kamu sudah sembuh?” tanyaku dengan mata
berbinar terang. Kentara banget aku kegirangan ketemu dia.
“e hem.” Jawabnya singkat.
“ tapi wajahmu masih pucat banget.” Kataku.
“ya namanya juga habis sakit.” Jawabnya.
“ini pake payungku saja. Masih sakit kok malah hujan
hujanan.” Kataku sambil menyerahkan payung pada Rain.
“nggak usah, aku suka hujan.” Jawabnya. Aku nggak mau
maksa dia. nggak mau ngerusak suasana. Takutnya dia kabur lagi seperti waktu itu.
“aku kesini Cuma mau minta maaf kok sama kamu, aku
minta maaf kemaren sudah ninggalin kamu di atas bukit sendirian.” Lanjutnya.
“ohh itu, nggak papa kok.” Jawabku.
“ ya sudah gitu aja. Bye.” Katanya sambil melangkah
pergi.
“lho Rain, kok pergi gitu aja sih.” Kataku. Tapi Rain cuma melambaikan tangan tanpa berbalik. Sekali lagi aku di buat bengong sama
tingkah cowok satu itu.
“Rain tunggu.” Kataku sambil menyusulnya.
Rain
tidak menghiraukanku. Dia berjalan terus tanpa menoleh meski tahu aku
menyusulnya. Tapi karena jalannya lambat, aku dapat mengimbangi langkahnya
dengan mudah.
“ kok pergi gitu aja sih.” Gerutuku saat aku sudah
berada di sampingnya.
“aku lelah, mau pulang.” Jawabnya tanpa menoleh ke
arahku. Dia terus berjalan santai, sambil kepalanya sedikit menengadah ke atas.
Menikmati hujan. Aku baru sadar, wajah Rain sekarang lebih pucat lagi. Aku
langsung memayunginya.
“ kan aku sudah bilang aku suka hujan.” Katanya sambil menyingkirkan payungku.
“ tapi kamu pucat banget Rain.” Kataku sambil berusaha memayunginya.
“ aku ingin mengingat ini, bau hujan disini benar benar membuatku nyaman.” Katanya tanpa mempedulikan kekhawatiranku. Aku menyerah, tidak memaksanya memakai payung lagi. Tidak tega melihat ekspresinya yang benar benar menikmati hujan. Aku terus memperhatikannya sepanjang jalan. Diam. Tak satupun dari kami yang bicara. Hanya berjalan menikmati hujan pagi itu.
Kami
tiba di depan villa Rain. Aku berpamitan padanya. Aku malu untuk berkunjung,
lagipula Rain harus istirahat. Tapi, belum sempat aku membalikkan badan, Rain
tiba tiba jatuh tersungkur. Dia pingsan! Panik, aku langsung berteriak minta
tolong. Orang di dalam villa langsung berhambur keluar mendengar teriakanku.
Melihat Rain tergeletak, wanita bergamis merah, yang aku yakin itu pasti ibunya
Rain langsung histeris.
“anakku bagaimana ini. Papa cepat panggil ambulans.” Kata wanita itu sambil terisak. Dan orang yang di panggil papa itu langsung sigap mengambil handphone dan mulai menelepon. Mereka seperti tak menyadari keberadaanku.
“Rian cepet kesini bantuin gendong Rain ke dalam.” Kata ibu itu setengah berteriak. Tak berapa lama keluarlah Rian dari dalam villa. Wajahnya sangat mirip dengan Rain, hanya kulitnya sedikit lebih putih dan rambutnya di warnai coklat. Ku tebak itu pasti kakak atau adiknya rain.
“ biar saya bantu.” Aku menawarkan diri membantu agar mereka menyadari “keberadaan”ku. Mamanya rian kelihatan terkejut saat menatapku. Huftt, jadi dari tadi mereka benar benar nggak menyadari keberadaanku?? Tapi aku tak menanggapi keterkejutannya dan ikut memapah Rain masuk rumah. Si mama masih tetap melihatku dengan tatapan “ini manusia apa hantu” ketika kami sudah di dalam rumah. Rain di baringkan di sofa sambil menunggu ambulans.
“ada apa tante? Kok ngeliatin saya seperti itu.” Tanyaku karena tak nyaman dengan tatapan mama Rain.
“ahh, nggak papa kok. Tante masuk dulu.” Jawab mama rain sambil melangkah pergi.
“temennya rain ya?” tanya rian saat mamanya sudah di dalam.
“iya, kenal belum lama sih, tapi lumayan akrab.” Jawabku.
“gitu, aku kakaknya Rain.” Katanya kemudian.
“ehmm kak, Rain sakit apa c?” tanyaku pada rian. Belum sempat rian menjawab pertanyaanku, ambulans sudah datang. Cepat cepat Rain di bawa masuk ambulans.
“ya sudah dek tak tinggal dulu ya. Oh iya siapa namanya?” tanya rian.
“nadya kak.” Jawabku.
aku berdiri memandangi ambulans itu pergi sampai tak terlihat lagi. Huftt, lagi lagi pertanyaanku tak terjawab.
*******
Besoknya
aku mulai mengemasi pakaianku, karena nanti siang aku harus sudah balik ke
jakarta. Liburan sudah habis. Sebelum pergi, aku sempatkan ke villa Rain. Aku
ingin tau keadaannya. Syukur syukur bisa ketemu orangnya langsung.
Tapi
villanya sepi, nggak ada orang. Mungkin masih pada di rumah sakit nungguin Rain.
Apa sakit Rain parah ya?
“ nadya ya?” tanya seseorang yang baru keluar dari mobil.
“oh, kak rian. Iya kak. Ehmm, Rain masih di rumah sakit?” tanyaku.
“ ayo masuk dulu.” Ajak Rian. Kami duduk di sofa ruang tamu. Hening sejenak, tak ada yang berbicara.
“kak? Rain gimana?” tanyaku kemudian.
“ wajahmu sangat mirip dengan almarhum kiara, istrinya rain.” Kata rian tanpa menjawab pertanyaanku. Ini aku nggak salah denger ya? Istri Rain? Almarhum?
“maksud kak rian apa ya?” tanyaku masih kaget dengan hal yang baru ku dengar.
“Rain sudah meninggal nad. Tadi malam, dia sempat sadar tapi hanya sebentar, lalu dia menghembuskan nafas terakhirnya.” Kata rian yang lagi lagi tak menghiraukan pertanyaanku. Aku antara percaya dan tidak. Nafasku tiba tiba sesak. Rain, orang yang beberapa hari ini menyita hatiku, meninggal? Tubuhku limbung, air mataku mengalir deras tanpa bisa ku hentikan. Aku kehilangan kendali atas tubuhku sendiri, jantungku benar benar tertikam dengan berita yang baru saja ku dengar.
“ Rain mengidap Aids.” Kata rian kemudian.
“ Rain memang dulu sangat nakal, dia pecandu narkoba. Sampai akhirnya dia kenal dengan kiara. Gadis itu bisa merubah Rain sedikit demi sedikit. Sampai akhirnya Rain bersi keras ingin menikah dengan kiara, dia berjanji akan berubah total setelah menikah. Tak berapa lama mereka pun menikah, tapi hanya selang beberapa bulan, kiara sering sakit. Awalnya kami tak begitu kuatir karena kiara memang sering sakit dari kecil, daya tahan tubuhnya lemah. Sampai suatu hari dokter memvonis kalau kiara mengidap aids. Kami semua di buat bingung, karena setahu kami kiara anak baik baik. Lalu Rain berinisiatif memeriksakan diri ke dokter, dia sudah menebak kalau dirinyalah yang membuat kiara terkena aids. Ternyata memang benar, Rain positif terkena HIV/aids.” Jeda sejenak, wajah rian terlihat sangat keruh mengingat masa lalu.
“ sejak itu rain sangat depresi, orang yang di cintainya harus menderita karena ulahnya. Dia mulai memakai narkoba lagi. Hal itu membuat kiara stres sampai akhirnya kiara meninggal 5 bulan yang lalu.” Jeda lagi. Rian terlihat menyeka air matanya.
“ rain jadi seperti orang gila sejak kepergian kiara. Lalu mama berinisiatif membawa rain kesini. Dulu rain dan kiara berbulan madu disini, makanya mama pikir rain bisa lebih tenang kalau berada di sini. Sejak disini rain mulai terlihat normal, walau kadang suka berbicara sendiri. Dia selalu pergi jalan jalan saat hujan, dia bilang, kiara suka jalan jalan saat gerimis, karena sangat romantis. Makanya dia selalu keluar demi bisa merasakan kenangan bersama kiara. Tapi hasilnya, rain selalu menangis setibanya di rumah. Kecuali seminggu ini, dia benar benar terlihat ceria seperti dulu. Sampai akhirnya sekarang dia pergi menyusul kiara.” Kalimat yang terakhir di ucapkan rian dengan isak tangis. Dia sudah tak sanggup membendung kesedihan atas kepergian adiknya.
“ ya sudah nad, aku mau mengemasi barang barang dulu, kami sekeluarga mau pulang kampung, Rain mau di makamkan di kampung.” Kata rian.
“iya kak, aku permisi dulu.” Kataku.
aku berjalan pelan, pikiranku kosong. Aku benar benar terguncang. Cowok bersenyum teduh itu, tak kan bisa ku temui lagi.
“nadya tunggu.” Ku dengar rian memanggilku.
“iya, ada apa?” sahutku.
“ini titipan dari rain. Maaf tadi kakak lupa. Bye” katanya sambil bergegas pergi.
Sesampainya
di rumah, langsung kubuka amplop pemberian Rain. Isinya adalah selembar foto.
Foto sepasang kekasih. Wajah cewek di foto ini sangat mirip denganku, hanya
saja rambutnya ikal. Foto kiara dan
rain. Mereka terlihat sangat bahagia. Aku membalik foto itu, sudah ku tebak ada pesan yang di
tulis rain untukku. “ nadya.. terima kasih. Berkat dirimu, aku bisa melihat
kiara sekali lagi.”
jlebb, sebaris kalimat itu berhasil membuatku banjir air mata lagi. Kalimat singkat itu, sudah cukup menggambarkan betapa menderitanya rain sejak kepergian kiara. Betapa dia mencintai belahan jiwanya itu. Rain dan kiara. Seperti kisah romeo dan juliet. Kisah cinta yang tragis. Meskipun aku sendiri menyukai rain, aku tetap merasa iba pada pasangan ini. Semoga tenang di alam sana, Rain, Kiara.
*******
1 tahun kemudian.
Aku
suka bau hujan. Aku selalu mengingat kata katamu itu. Aku jadi ketularan
dirimu, selalu menanti hujan, kadang sengaja berjalan di bawah guyuran hujan.
Ya, aku memang belum bisa melupakanmu. Senyumanmu itu berhasil membuatku jatuh
cinta. Kau tau rain? Sekarang aku tau seperti apa bau hujan...
Baunya seperti dirimu....
**
End **
Rabu, 03 Juli 2013
Fairy Tale Chapter 21 My First Magic
Alden POV
" Ada apa mencariku Al?" Tanya Kiara saat tangisnya sudah mereda.
" hem,, bukan hal penting. Filia ingin bertemu denganmu, sepertinya dia sangat menyukaimu." Jawaku.
" Filia?" Tanyanya dengan mata berbinar. Benar tebakan Elden, Kiara memang menyayangi Filia.
" Iya. Tapi kalau melihat keadaanmu sekarang, sepeertinya kamu butuh sendirian." Kataku lembut.
" Tidak tidak, sendirian hanya akan memperburuk suasana hatiku. Ayo ke duniamu." Ajak Kiara antusias.
" Tidak dengan wajah seperti itu ratuku." Kataku tersenyum geli. " Constituendum" Ucapku memperbaiki tampilan wajahnya yang berantakan karena air mata.
" Apa yang kamu sihir Al?" Tanya Kiara.
" Hanya menghilangkan bekas air matamu." Jawabku.
" Ya sudah ayo." Katanya tak sabar.
Aku merasa mendapat adik perempuan satu lagi, hahaha. Menggemaskan.
....
" KIARAAAA...." Teriak Filia begitu kami tiba di kamarku, berarti dari tadi Filia tak beranjak dari kamarku sama sekali.
" Sesenang itukah bertemu denganku?" Tanya Kiara tersenyum lebar.
" Tentu, disini semua sibuk, tidak ada yang mau mengobrol denganku. Ayo jalan jalan Kiara, akan ku tunjukan tempat tempat menarik di dunia kegelapan." Ajak Filia antusias.
" Di luar gelap ya?" Tanya Kiara.
" Iya, kenapa? Kau takut gelap?" Tanya Filia.
" Bukan takut, tapi aku selalu sesak nafas kalau di dalam gelap." Jawab Kiara.
" Tenang, kalau siang disini bunga lux bermekaran, jadi tidak terlalu gelap." Kata Filia.
" Bunga lux?" Tanya Kiara.
" Bunga lux adalah bunga cahaya, dia akan bercahaya saat mekar. dan mereka mekar pada siang hari dan kembali menjadi kuncup jika malam tiba. hampir di sepanjang jalan ada bunga lux, jadi kamu tidak perlu khawatir Kiara, atau kamu bisa minta Filia memakai sihir untuk menerangi jalan kalian." Jelasku.
" Menarik sekali dunia kalian." Kata Kiara dengan mata berbinar. Sepertinya dia sudah lupa dengan kesedihannya.
" Ayo Kiara." Ajak Filia tak sabar sambil menarik Kiara keluar.
" Ahh!!" terdengar jerit Kiara dan Filia dari depan, aku langsung berlari menyusul mereka.
" Ada apa?" Tanyaku panik. " Caith?"
" Hai Al, aku baru tiba disini, tiba tiba nona nona ini menjerit mengagetkanku." Kata Caith tersenyum.
" Kamu yang mengagetkan kami Caith." Kata Filia cemberut.
" Ngomong ngomong kenapa kamu disini Kiara?" Tanya Caith.
" Filia ingin bertemu Kiara, makanya tadi aku menjemputnya." Jawabku menggantikan Kiara yang terlihat enggan mengatakan alasanya disini. Kurasa dia tidak ingin membahas tentang tangisanya tadi.
" Ehm begitu."
" Lalu ada apa kamu mencariku?" Tanyaku.
" Siapa yang mencarimu? Aku mencari Kiara, tidak tahunya malah sampai di dunia kegelapan." Jawab Caith.
" Kenapa mencariku?" Tanya Kiara.
" Veon cerita padaku kalau kamu ingin mengadakan pesta pengangkatanmu sebagai ratu di taman bunga milik ibu. Aku sudah menyampaikannya pada ibu, dan beliau sangat senang. Aku kesini untuk menanyakan padamu pesta seperti apa yang kamu inginkan Kiara? Agar kami bisa menyiapkannya sebaik mungkin." Kata Caith.
" Ratu Kayla bersedia meminjamkan tamannya?" Tanya Kiara senang.
" Tentu, itu kehormatan bagi kami Kiara. Jadi pesta seperti apa yang kau inginkan?" Kata Caith.
" Ehmm, apa pengangkatan sebagai ratu harus ada upacara atau semacamnya?" Tanya Kiara.
" Tentu Kiara, itulah alasan di adakan pesta pengangkatanmu, upacara pengesahan sebagai ratu tiga dunia. kamu bisa mengundang siapa saja yang kamu inginkan." kataku.
" Siapa saja? Apa orang tuaku juga? teman temanku juga? Mereka bisa ke dunia peri?" Tanya Kiara antusias.
" Pada hari itu gerbang antar dunia terbuka lebar Kiara, kamu tidak perlu kunci atau kemampuan khusus pemegang kunci untuk bisa melewati gerbang. Siapapun bisa keluar masuk dengan bebas." Jawabku.
" Wah... menyenangkan sekali. Teman-temanku pasti senang bisa melihat dunia peri." Kiara terlihat kegirangan.
" Setahuku, gerbang di dunia manusia ada di belakang rumah Daniel." Kata Caith.
" Eh? Bukannya kita hanya perlu menyebut nama seseorang untuk berpindah tempat?" Tanya Kiara tak paham.
" Bukan Kiara, itu hanya berlaku untuk pemegang kunci dan kamu. Kalau yang lain harus melewati gerbang antar dunia." Jelasku. " Kalau di dunia kegelapan gerbang terletak di depan istana, kau lihat itu? disisi kiri air mancur itu ada gazebo. di dalamnya ada tiang-tiang berwana emas, itulah gerbang di dunia kami. Siapapun bisa keluar masuk dari sana. Tentu saja hanya bisa dengan ijin khusus ratu tiga dunia. Kecuali di hari pengangkatanmu, gerbang itu terbuka untuk siapa saja." lanjutku.
" Kalau di dunia peri, gerbang berada di dalam istana, ibu membuatnya menjadi pintu di aula besar istana. Meskipun ayah menentang karena menurut ayah gerbang antar dunia harus berada di ruangan khusus agar lebih aman, tapi ibu tidak mau dengar." Kata Caith.
" Dan di dunia manusia terletak di rumah Daniel?" Tanya Kiara.
" Ya. Kau main saja ke rumah Daniel kalau ingin memastikan." Lanjutku sedikit menggodanya. Tapi raut wajahnya tak berubah. Sepertinya Kiara sudah tidak sesedih tadi.
" Jadi? Ingin pesta seperti apa?" Tanya Caith lagi.
" Ehmm..." Kiara terlihat berpikir. " Pesta kebun yang terkesan lembut. Aku ingin banyak warna putih, makanan yang manis dan... apa ya...oh iya, acaranya siang atau malam?" Tanya Kiara.
" Itu terserah padamu ratu." Jawab Caith.
" Kalau begitu sore saja, aku ingin banyak peri hutan di sekitar taman, aku menyukai mereka." Kata Kiara ceria.
" Kau suka? well, sebenarnya mereka sedikit pemarah dan tidak suka keramaian. Tapi kalau kau ingin begitu, akan ku usahakan." Jawab Caith.
" Thanks" Jawab Kiara sembari tersenyum. Apa dia sadar kalau senyumannya bisa membuat semua lelaki menjadi gila? Kurasa tidak.
- - - - - - - -
Kiara POV
Aku tak kan pernah bisa membayangkan seperti apa hidup para iblis. Seharusnya sekarang matahari masih benderang di atas sana. Tapi disini... gelap. Tak ada bedanya dengan malam. Mereka hanya tahu jika siang tiba bunga-bunga lux bermekaran dan jika sudah malam, bunga itu kembali menguncup. Seumur hidup tak pernah melihat matahari. Benar benar menakutkan.
" Kita mau kemana Filia?" Tanyaku pada gadis menggemaskan di sampingku yang sedari tadi tak mau melepaskan gandengannya pada lenganku.
" Hutan Centrum." Jawabnya ringan.
Ohh, mendadak aku menjadi paranoid. Hutan selalu identik dengan suasana gelap dan menakutkan. Aku tidak suka itu. Baiklah kalau kalian menyebutku penakut. Tapi aku benar benar tidak suka.
" Apa tidak ada tempat lain yang menarik disini? kenapa malah ke hutan. Aku benci gelap Filia."
" Sebentar saja. Ada sesuatu yang ingin ku perlihatkan. Ini sangat cantik, aku sangat menyukainya." Pinta Filia, aku jadi tidak tega untuk menolak.
Kami berjalan menyusuri jalan setapak menuju hutan. Filia bilang aku harus lebih mengenal dunia kegelapan, makanya dia tidak mau menggunakan sihir agar lebih cepat sampai ke hutan. Jalanan disini hanya jalan setapak kecil, karena semua orang disini lebih suka berteleport untuk berpindah tempat tanpa harus lelah berjalan.
Model model rumah disini bermacam macam, ada yang sederhana, ala victorian, rumah panggung, minimalis juga ada, well mereka tinggal menyihirnya saja, jadi hal itu tidak sulit. Kesimpulanku penduduk dunia kegelapan pastilah kebanyakan cerdas dan punya selera tinggi. Karena sihir tanpa kecerdasan sama saja tak berguna. Karena mereka tak akan punya ide, hal seperti apa yang mereka inginkan. dan rumah rumah berbagai model ini cukup menjelaskan betapa kreativnya mereka.
Di sepanjang jalan banyak orang orang yang membungkuk memberi salam pada Filia, sepertinya dia putri raja yang cukup terkenal dan ramah. Dia banyak tersenyum kepada rakyatnya. Sungguh mengagumkan. Dia bisa terlihat berwibawa sekaligus ramah dalam waktu bersamaan. Apa nanti aku juga bisa seperti itu?
" Bagaimana kamu melakukannya?" Tanyaku pada Filia.
" Apa?" Filia terlihat tak mengerti.
" Kamu bisa terlihat berwibawa dan ramah di depan semua orang. Bagaimana caranya?"
" Caranya? Entahlah, aku sudah seperti ini sejak kecil. Tanya kak Alden saja, dia lebih jago kalau soal pelajaran kepribadian." Jawab Filia.
" Okay, baiklah."
Kami sudah mulai memasuki kawasan hutan. Sudah tak ada lagi rumah di sekitar sini. Meski pohon pohon masih jarang, tapi bunga lux sudah semakin sedikit, dan kegelapan mulai mengelilingi kami.
" Filia, bisakah kau buat tempat ini menjadi lebih terang?"
" Tentu." dia menggumankan mantra pelan dan keluarlah dua lampu kristal cantik yang melayang di sebelah kami, mengikuti setiap langkah kami. Ohhh.... Aku suka sihir.
Semakin masuk ke dalam hutan, pohonya semakin lebat. Well, pohon pohon disini termasuk dalam kategori "mengerikan". mungkin karena tidak pernah tersentuh matahari jadi pohon ini tumbuh secara tidak biasa, akarnya banyak terlihat agak tinggi. batangnya besar dan berlumut, hawa dingin terasa sangat pekat disini. ya.. aku takut!
" Kita sudah dekat Kiara." Kata Filia senang.
Meski samar-samar, dapat ku lihat remang cahaya di depan sana.
" Apa yang ada di sana?"
" Hutan!" Filia nyengir lebar. " Tapi ada yang berbeda disana, dulu aku pernah bereksperimen dengan sihir kuno dan menjebol perisai langit di depan sana."
" Lalu?" Tanyaku tertarik.
" Kak Elden memperbaikinya tapi perisai itu belum sempurna. Sudah di perbaiki berkali kali tapi tetap masih ada lubang disana sini. Tapi berkat itu aku jadi tahu,,, sinar matahari benar benar menakjubkan." Kata Filia sambil memandang ke atas.
Di depanku terhampar pemandangan indah. Aku yakin, ini satu-satunya tempat di dunia kegelapan yang ada tumbuhan "normal". Meski tak begitu luas, hanya sekitar 15 meter, tumbuh rerumputan dan bunga-bunga liar yang cantik. Udaranya juga segar. Berbeda dengan bagian hutan lain yang dingin. Ya, ini semua berkat sinar matahari yang menerobos di antara perisai langit yang berlubang di sana sini.
" Aku sangat menyukai tempat ini Kiara. Cahaya matahari membuat semuanya terlihat cantik. meskipun cahaya itu bisa membunuhku, tapi aku menyukainya." Kata Filia menerawang.
Aku hanya memandangnya dalam diam, tak tahu harus mengatakan apa padanya.
Kami duduk di atas rerumputan. Filia memilih tempat yang tidak terkena sinar matahari langsung.
" Sejak hari itu ayah tidak memperbolehkanku pergi ke sekolah. " Filia kembali bercerita. " Setiap hari aku hanya menghabiskan waktuku di istana. Kadang mengganggu kakak Al dan El. Tapi mereka juga sibuk dengan tugas masing masing. Makanya aku jadi sangat kesepian Kiara."
" Kenapa kau sangat tertarik dengan sihir kuno?" Tanyaku.
" Karena aku ingin jadi hebat. Orang-orang sering menyepelekan ku karena aku ini perempuan. Dan lagi kedua kakakku punya keahlian masing-masing. Aku juga ingin dibanggakan seperti kak Al dan El. Maka dari itu aku mempelajari sihir kuno. Dan yang aku sukai itu sihir-sihir untuk bertempur. Makanya semua mantra yang ku coba selalu menghancurkan sesuatu di sekelilingku, karena itu memang sihir untuk menyerang lawan."
Seperti tebakanku dia memang tomboy, perempuan pada umunya mungkin lebih memilih sihir untuk pengobatan atau hal-hal feminim lainnya, bukan bertempur.
" Sedang apa kalian disini?" Tanya sebuah suara dari belakang kami.
Aku dan Filia reflek menoleh ke belakang. Terlihat Elden sedang berjalan santai menuju ke arah kami. di tangannya ada setidaknya 4 buku tebal dengan sampul gelap. Dan oh... El memakai kacamata. Dia jadi terlihat lebih smart dan... tampan.
" Kak Elden ngapain kesini." Tanya Filia.
El menunjukkan bukunya. " Mau baca buku." Jawabnya sambil mengambil duduk di antara aku dan Filia, menyeruak ke tengah tengah kami yang padahal duduknya tidak terlalu jauh. Hasilnya? Kami duduk berhimpitan sekarang.
" Apa yang kau lakukan El." Kataku gusar sambil menggeser dudukku menjauh. Ku lihat Filia juga melakukan hal yang sama.
" Apa? Aku hanya duduk." Jawab El cuek.
El melepas kacamatanya dan mulai membaca bukunya dan kami bertiga terjebak dalam keheningan. Filia tampak begitu menikmati cahaya matahari. Dan aku menikmati wajah tampan yang terlalu sempurna di sampingku. Pesona iblis benar-benar berbahaya.
" Sejak kapan kakak tahu keindahan tempat ini?" Tanya Filia pada Elden.
" Sejak kau merusak perisai langit dan aku harus bolak balik memperbaiki tempat ini." Jawab El setengah menyindir.
" Tapi setidaknya kita jadi punya tempat yang sangat indah kan kak?" Kata Filia tersenyum bangga pada "hasil karya"nya.
El menutup bukunya dan memandang ke atas dengan nyamannya. mengamati setiap sinar yang berhasil menerobos masuk melewati perisai langit.
" Keinginan terbesarku adalah membawa ibu melihat sinar matahari. Ibu sangat menyukai keindahan. Dan sinar matahari adalah hal terindah yang pernah ku lihat." Kata El lebih kepada dirinya sendiri. Dia memang terlihat sangat menyayangi ibunya.
" Tentu kau bisa melakukannya El." Kataku menyemangatinya.
" Tidak, bahkan Alden pun tidak bisa. Hanya pemegang kunci yang bisa keluar masuk ke tiga dunia, tak bisa mengajak orang lain." Kata El lesu.
" Kata Alden, saat hari pengangkatanku nanti gerbang antar dunia terbuka untuk semua orang, jadi ratu Esme bisa melihat matahari di dunia peri atau di dunia manusia." Jawabku.
" Ah kau benar Kiara," Kata Filia bersemangat.
Tiba tiba saja Elden menangkup wajahku dengan kedua tangannya. Kedua matanya memandang ke dalam mataku.
" Terima kasih Kiara. Terima kasih sudah hadir ke dalam hidup kami. Aku sangat bahagia." Kata Elden. dan kemudian...
CUP
Sebuah kecupan mendarat tepat di bibirku.
Aku mematung! Terlalu kaget untuk bereaksi.
Elden mengacak acak rambutku gemas. " kau sangat manis Kiara."
" APA YANG KAU LAKUKAN!!!!" Aku berteriak jengkel pada El yang sudah seenaknya mencuri ciuman dariku.
" Apa? Aku hanya menciummu. Itu ciuman terima kasih." Jawabnya enteng. Iblis yang satu ini benar benar kurang ajar!!!
Dadaku bergemuruh oleh amarah! Entah apa yang ku pikirkan tapi ku harap sekarang aku punya kemampuan sihir agar aku bisa membuatnya kapok untuk menggodaku.
" Ceciderit!" Kataku tanpa sadar.
Dan seketika Elden terjatuh dari tempatnya duduk. kepalanya membentur tanah cukup keras.
" Auhh!!" Jerit El.
" Kiara? Kau sudah bisa sihir?" Tanya Filia dengan mata melebar.
*************
to be continue
The Smell of Rain Part 2
Gerimis!
Oh tidak, kencanku terancam batal. Aku
sudah mempermalukan diriku sendiri untuk hari ini. Tapi kenapa malah hujan.
Gimana mau sepedaan kalo seperti ini. Mendung di langit berhasil pindah ke
wajahku sekarang. Entah dapat dorongan dari mana, aku tetep mengeluarkan sepeda ke
jalanan depan rumahku.
“aku memang suka hujan, tapi bukan hujan yang ini.”
Gumamku sambil menengadahkan tanganku menampung air hujan.
“Terus sukanya hujan yang ini?” tanya Rain sambil
menunjuk wajahnya sendiri.
Entah sejak kapan dia ada di sampingku. Aku tidak
menyadari kehadirannya.
“kamu dateng! Emang kita jadi sepedaan? Kan hujan?”
Tanyaku tanpa menggubris godaannya.
“Cuma gerimis gini, nggak apa apalah basah dikit. Lagian
bau hujan kan enak” jawabnya.
“bau lagi!” gerutuku.
Rain hanya membalas dengan senyum.
“ayo berangkat.” Ajaknya.
Dan kami pun bersepeda santai menuju punjak
perkebunan ini. Angin dingin tak menyurutkan kayuhanku. Segar yang ku rasakan.
Di temani 2 hujan yang memberi sensasi berbeda padaku, hangat dan dingin.
Rain
tiba tiba mempercepat kayuhannya. Ngebut malah. Aku kewalahan menyusulnya.
Sampai di puncak dia hanya nyengir sambil bilang “loser”. Aku melongo
menanggapi ucapannya? Ya jelas kalah orang ngajakin balapan nggak bilang bilang.
Main kebut saja.
“ni, di minum.” Katanya sambil memberikan botol
minum padaku.
Aku yang tadinya mau ngambek karena di bilang loser
tanpa alasan nggak jadi membuka mulut, hanya tersenyum dengan perlakuannya yang
gentle bgt. Bagiku, cowok yang mau memperhatikan hal hal kecil itu cowok yang
gentleman.
Aku langsung menegak habis air dalam botol berukuran
sedang yang di berikan rain padaku, haus banget memang.
Sekarang giliran rain yang melongo melihatku
menghabiskan minumnya, memang jarang ada cewek bisa ngabisin air 1 botol
sekaligus.
“yahh nad, kok di habisin, kan aku belum minum.”
Protesnya masih dengan sedikit melongo.
“lho? Aku kira kamu masih punya 1 botol lagi.”
Jawabku polos tanpa rasa bersalah.
“Cuma 1 itu nad, lagian kamu cewek minum kok banyak
banget seperti itu, heran deh.”
“hehe, maaf maaf, anggap saja kita impas, tadi kamu
sudah balapan nggak bilang bilang, sekarang aku ngabisin minumanmu, impas kan.”
Kataku dengan nada bijak. “sok bijak” tepatnya.
“ impas sih impas, tapi masalahnya aku sekarang haus
bangettttttt.” Katanya menggerutu.
Aku hanya tersenyum menanggapi kata katanya,
wajahnya sangat lucu saat cemberut, seperti anak kecil.
“yee malah senyam senyum.” Katanya bete.
“iya maaf, terus mau gimana? Masa mau turun ke bawah
langsung? Kan masih capek.” Kataku berusaha mencari ide.
“ya sudah istirahat dulu, tapi nggak usah jalan2 keliling
ya, ntar jadi tambah haus.” Katanya mengalah.
“ya sudah, kita duduk2 saja disini.” Sahutku. Cowok
ini, sikapnya benar2 lembut.
Pagi
pagi gini udara di atas bukit tergolong dingin, tapi buat kami yang habis
berkeringat rasanya sangat segar. Apalagi suguhan pemandangan dari atas sini,
wuihhhh bikin betah deh. Suasana canggung mulai menyelimuti, kami duduk dalam
diam. Ini membuatku merasa tak enak hati, kan tadi habis ngabisin minumnya, kok
sekarang jadi diem gini.
“sekarang hausnya ilang sendiri kan?” kataku mencoba
bercanda.
Dia hanya membalasnya dengan senyum lemah, tak
bersemangat seperti tadi. Aku jadi tambah nggak enak hati. Hening lagi, kali ini
lebih lama dari tadi.
“ayo kita turun.” Katanya tiba tiba.
“hemm? Turun? Kenapa? Kan baru sebentar disini kok
sudah ngajak turun?” tanyaku tambah nggak enak hati.
“ nggak apa-apa, aku sudah keburu haus. Ayo.” jawabnya dengan
senyum yang sangat kelihatan kalau itu di paksakan. Apa dia marah? Cuma karena masalah
kecil seperti tadi? nggak mungkin ah.
“marah ya Rain? Maaf deh, aku nggak ada maksud mau bikin
kamu kehausan.” Kataku.
“siapa yang marah sih nad, kan sudah ku bilang, aku nggak papa.” Jawabnya dengan senyum yang masih di paksakan.
“terus kenapa mukanya jadi keruh gitu?” tanyaku
masih tidak puas dengan jawabannya.
Dia hanya menjawabnya dengan senyum lalu langsung
mengayuh sepedanya tanpa mempedulikanku.
Masih kaget dengan perubahan sikapnya,
cepat cepat ku ambil sepeda dan menyusulnya. Tapi aku tak dapat menyusulnya,
dia bener bener ngebut, sebentar saja banyangannya sudah tak kelihatan olehku.
Ku perlambat laju sepedaku, lelah. Sebenernya dia kenapa si, kok tiba tiba jadi
murung seperti itu. Aku menghabiskan sisa perjalan dengan melamun, cowok itu
bener bener berhasil menyita perhatianku.
********
Besoknya,
aku kembali ke perkebunan lagi. Harap harap cemas menanti rain. Aku harus dapat
penjelasan atas sikapnya kemarin. Maksudnya apa coba meninggalkanku begitu saja di
atas bukit? Kalau aku sampai celaka gimana?
“duhh, kenapa si Rain nggak muncul muncul juga sih, sudah
1 jam lebih aku disini.”gerutuku. nggak sadar ternyata ada pekerja kebun teh yang
ada di dekatku.
“lagi nungguin mas Rain ya non?” tanya pekerja itu
sambil cengengesan. Duhhhh, malu banget deh aku.
“hehe, ya gitulah pak.” Jawabku sekenanya.
“setahu bapak non, kalo hari cerah seperti ini mas Rain nggak jalan ke perkebunan.” Kata si bapak masih dengan cengengesan.
“masa sih pak? Memangnya kenapa?” tanyaku.
“ya bapak kurang tahu non, tapi memang seperti itu, kalau
cerah tuh nggak pernah kelihatan di sekitar sini. Kalo pas gerimis atau hujan baru
deh naik kesini. Pernah juga bapak lihat pas hujan gede banget mas Rain jalan
jalan sendirian di perkebunan, padahal dinginnya minta ampun non.” Cerita si
bapak panjang lebar.
Makin penasaran saja aku sama Rain. Misterius banget
si dia. Akhirnya hari ini aku pulang dengan teramat sangat kecewa. Berharap
besok hujan turun biar bisa ketemu Rain.
*******
Sudah
dua hari nggak turun hujan, mana liburan hampir habis lagi. Huftt, bisa bisa aku nggak akan pernah ketemu sama Rain lagi. Meski hari cerah, nadya tetep ke
perkebunan, mungkin saja beruntung.
Tapi
sudah di tunggu lama pun Rain nggak muncul. Apa dia bener bener Cuma kesini kalau
hujan? Aneh banget sih tu orang.
“si non, sudah di bilangin mas Rain cuma kesini kalo
hujan kok nggak percaya.” Tiba tiba bapak yang kemarin itu sudah nyeletuk saja.
“eh bapak, ya kali aja kan pak. Namanya juga usaha.”
Jawabku malu malu.
“samperin aja non ke villanya, dari pada nahan
kangen gitu.” Kata si bapak nyoba ngledekin.
“ye, bapak mah jahil banget. Siapa yang kangen coba.”
Jawabku sambil tertawa. Si bapak juga ikut tertawa melihatku yang tersipu malu.
“eh pak, emang bapak tau villanya Rain dimana?”
tanyaku.
“nah, katanya nggak kangen, tapi akhirnya tanya juga
kan?” kata bapak tak habis habisnya jahilin aku.
“ahh bapak, serius ni.” Kataku sedikit merajuk.
“itu tuh non, villa yang depannya ada pohon durian.
Disini cuma ada satu pohon durian, nggak ada lainya.” Jawab si bapak.
“ya sudah, makasih ya pak.” Jawabku sambil beranjak
pergi.
Tanpa buang waktu, aku langsung menuju villa itu.
Meski sebenernya malu, kesannya aku ngebet banget ya sama Rain. Tapi biarlah,
rasa penasaranku sudah mengalahkan segalanya.
“permisi.” Kataku sambil membunyikan bel. Tapi kok
sepi. Seperti nggak ada orang gitu. Aku coba berkali kali juga nggak ada respon. Apa
Rain sudah pulang kampung ya? Apa aku bener bener nggak akan ketemu sama Rain
lagi? Aku gelisah sendiri di depan villa Rain. Malas mau pulang.
“ cari siapa dek?” tanya sebuah suara.
“ahh, itu, cari Rain bu.” Jawabku pada perempuan yang
ada di depanku sekarang.
“oh, si Rain sama keluarga tadi pagi pergi ke rumah
sakit.” Kata ibu itu.
“emang siapa yang sakit bu?” tanyaku.
“ Rain dek. Tadi pagi pas ibu lagi nyapu di depan
rumah ibu, Rain di bawa pake ambulans ke rumah sakit, sepertinya sakitnya tambah
parah deh.” Jawab sang ibu.
“Rain? Sakit apa dia bu.” Tanyaku penasaran.
“aduh gimana ya, ibu nggak enak ngomongnya. Mending
ntar adek tanya saja sama keluarganya langsung.” Jawab si ibu.
“lho? Memang kenapa bu? Cuma kasih tahu sakit apa kok nggak enak.” Tanyaku tambah penasaran.
“iya ibu nggak enak saja. Sudah ya dek ibu tinggal
dulu.” Kata ibu sambil pergi ke rumahnya.
Memang Rain sakit apa ya? Parah? Kok sampai pakai
ambulans segala. Terus kenapa ibu tadi nggak mau kasih tahu ya? Memang sakit apa sih.
Bener bener deh orang satu itu nggak habis habisnya buat aku penasaran.
*******
bersambung...
Langganan:
Postingan (Atom)